Fugazi

302 23 5
                                    

"FUGAZI"

Sekali lagi, aku menata penampilanku mengikat ulang rambutku yang terjuntai keatas dan menepuk-nepukkan Blouse putihku termasuk rok hitam ini untuk memastikan tidak ada noda atau partikel kecil debu mengganggu penampilanku. Selanjutnya, aku kembali duduk seraya mengetuk-ketukkan jariku di atas meja bundar yang masih setia menjadi saksi bisu. Memerhatikanku yang gugup menantikan kehadiran Queza, pacarku meminta bertemu di sini.

Aroma Secangkir kopi Espresso Macchiato yang aku pesan 5 menit lalu mengambang di udara, membuatku ingin lagi dan lagi menyesap dengan sangat perlahan kopi asal Negeri Pizza ini, berdalih untuk menghilangkan rasa gugupku dan menikmati sensasi cita rasa kopi menggigit di lidah bercampur dengan susu yang di steam agar mengurangi pahit di hasilkan biji kopi Espresso ini.

Kapan dia akan datang? Pertanyaan ini selalu menghantui isi pikiranku, menunggu adalah fase paling menyebalkan, apalagi orang yang kamu tunggu tak kunjung datang. Perasaan takut dan gugup tercampur aduk menjadi satu terkadang membuatmu lupa akan kata-kata yang telah kamu rangkai dibenakmu bahkan membuatmu mual tanpa sebab.

Lantunan khas musik Jazz yang biasa diputar di café pada umumnya menggema bersamaan dengan obrolan orang-orang yang sibuk dengan lawan bicara mereka, berulangkali aku menatap jam tanganku melihat waktu telah menunjukkan pukul 09.35 pagi. Aku masih gelisah menanti kehadiran Queza bahkan tengkukku merinding ketika mengingat namanya, dia pacarku tapi untuk periode seperti ini dia bisa saja menjadi predator yang siap menyerangku dengan ganas.

Aku meneliti keadaan ruangan pada café ini mulai dari jendela persegi menampilkan pemandangan hiruk pikuk keramaian Jakarta, kemudian mengalihkan pandanganku ke dinding berwarna Viridian menenangkan hati hingga dekorasi interior berkualitas agar membuat nyaman para pelanggannya, namun semua kenyamanan café ini sirna hanya karena sugesti buruk menggelapkan pikiranku, suhu dingin ruangan membuatku semakin takut membayangkan Queza datang dengan tiba-tiba menyeruak dari keramaian belantara Ibukota dan menatapku seperti pengacara yang siap mengintimidasi lawannya. Aku takut ada salah paham diantara kami. Aku takut dia sudah mengetahui segalanya jauh sebelum aku menjelaskan konflik ini.

Tatapanku teralih ketika melihat seorang cowok masuk melalui pintu depan café tidak lupa mematikan rokoknya sedetik sebelum membuka pintu. Dia Queza pacarku yang mengenakan Coats abu-abu gelap, bertubuh proporsional serta berambut ikal berwarna hitam dan brewok tipis menghiasi wajahnya dengan rahang yang tegas. Ia sempat berhenti di mulut daun pintu dan menahan salah satu pengunjung dibelakangnya yang ingin masuk ke café juga, bibirnya berdecak aku tahu persis dia sedang memanggil namaku dari sana.

Punggungku menegang memaksaku untuk mengusap cangkir kopi dengan tempo cepat mewakili suara degup jantungku, apalagi saat Queza berjalan santai mendekatiku lalu menarik bangku untuk bergabung bersamaku. Suara deritannya seolah-olah menjadi ucapan sapa bagi kami.

Aku langsung membalas senyum Queza yang kaku, sebenarnya gestur tubuhku terlihat demikian, khawatir jika Queza tahu dengan kebohongan yang aku sembunyikan.

"Orang Swiss biasanya melakukan tradisi 10 menit basa-basi sebelum membicarakan bisnis mereka, tapi kita bukan orang Swiss, nggak apa-apa kan kalau aku ngomong to-the-point?" aku mengangguk ragu seraya menaruh helaian rambut hitamku ke sela-sela telinga.

Queza menutup kelopak matanya dan menghela napas panjang. Dia terlihat nggak seperti biasanya. Kegelisahannya Ia tunjukkan dengan usapan tangan berulangkali, seolah-olah ingin mendatangi rapat pertemuan penting, sembari menunggu penjelasan keluar dari bibir tipisnya. Aku menyesap kopi harumku lagi untuk menghilangkan rasa gugup.

"Elsa, sayang, kemarin aku ke Cloud The Plaza, aku nggak tau kalau kamu juga ada disana." Hampir saja aku tersedak dengan kopi yang barusan aku teguk.

InterGen - Antologi RomansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang