Dari caranya berjalan, berlenggak lenggok di depanku. Dari cara dia tersenyum dan melirikan mata cokelatnya padaku -semua itu seolah membutakan. Membawaku ke dunia gelap gulita dengan dia sebagai pelita.
...
Hari itu siang ketika aku pulang dan melihat linda disana. Terduduk di sofa rumahku sambil memegangi bingkai foto yang dia titikan air mata. Mungkin dia menangisi ibunya lagi, yang baru meninggal beberapa bulan lalu. Sebab semalam linda tiba-tiba terbangun dari tidur dan meneriakan nama ibunya. Hal paling baik yang bisa kulakukan hanya menepuk-nepuk pundaknya. Karena linda paling tidak suka di komentari dan di nasehati. Dia lebih suka dibiarkan menangis sampai air matanya habis atau sampai kenangan tentang ibunya menghilang.
Tapi kali ini berbeda. Berhari-hari dia sangat sering memandangi bingkai itu. Entah itu sambil memasak, sambil mendengarkan radio, bahkan sambil berayun di ayunan halaman rumah kami. Kadang-kadang dia suka terisak-isak sendiri. Linda semakin sering terbangun di malam hari, hanya untuk ke ruang tamu, menyalakan lampu hingga seluruh ruangan terang benderang. Lalu dia mulai mengamati foto di bingkai itu lagi.
Semakin hari tingkahnya semakin aneh. Dia hampir tidak pernah masak bahkan untuk dirinya sendiri. Linda sering membiarkan alat-alat elektronik menyala begitu saja. Dia berkata jika itu membuatnya damai. Suara berisik televisi yang bercampur radio dan desauan kipas angin kami, katanya itu membuat rumah terdengar lebih ramai.
Beberapa kali sempat saudara-saudara perempuan linda datang. Untuk sekadar datang menjenguk atau bahkan sampai menginap dan menemaninya tidur. Karena linda semakin labil, dia sering tiba-tiba teriak dan membanting benda-benda. Dia juga semakin sering terisak-isak tiap kali melihat bingkai itu, lalu tiba-tiba tertawa.
Sore ini aku tidak tahu keberadaannya dimana. Kamar tidur, dapur, halaman -linda tidak berada disana. Namun saat aku melangkah ke kamar mandi, terdengar isakannya. Dia disana, duduk sila di sudut kamar mandi, sambil memegangi silet. Aku mencoba merampasnya, tapi tidak bisa. Tanganku menembus begitu saja seperti embusan angin. Linda masih terisak, dia menaruh bingkai foto yang selama ini di tatapinya. Disitu ada fotoku dan dia di hari pernikahan kami....
Pada nyatanya, siang itu aku hendak pulang. Karena begitu terburu-buru, sebuah truk menghantam mobilku saat menerobos lampu merah. Dan aku tidak pernah tahu begitu besar rasa cinta linda padaku, padahal selama ini aku pesimis.
Dia mulai menempelkan mata silet ke kulit pergelangan tangan. Aku ingat bagaimana cara dia ber jalan, berlenggak lenggok didepanku, lalu dari cara tersenyum dan melirikan mata cokelatnya padaku. Aku ingat saat itu dengan jelas. Semua itu membutakan. Membawaku ke dunia gelap gulita dengan dia sebagai pelita.Karya : AldyVerdy
KAMU SEDANG MEMBACA
InterGen - Antologi Romansa
RomanceEvent #1: Antologi Romansa Antologi ini adalah hasil karya bersama para anggota InterGen. Sebuah jawaban atas tantangan Event Bulanan pertama kali: membuat cerpen dengan genre romance :) Published 20 Februari 2016