Abadi Sampai Mati

448 27 3
                                    

Pemindahan tali toga yang dipimpin rektor berlangsung dengan khidmat. Acara yang diikuti oleh ribuan mahasiswa lulusan S1 di Universitas Airlangga. Salah satu calon wisudawannya adalah aku. Toni Adyaksa Kusuma dari fakultas ekonomi dan bisnis, fakultas yang biasa disingkat FEB oleh para mahasiswanya.

Aku tersenyum sumringah saat pembawa acaranya memanggil nama lengkapku untuk maju ke depan. Menjalankan prosesi pemindahan tali toga dari kiri ke kanan. Prosesi ini sudah seperti acara wajib di semua Universitas di seluruh Indonesia. Pemindahan tali dari kiri ke kanan yang menyimbolkan bahwa pada kenyataannya para wisudawan tidak hanya menggunakan otak kiri untuk manghafal materi seperti yang mereka lakukan di masa kuliah, tapi juga harus mengasah otak kanan agar mampu menghasilkan sesuatu yang kreatif dan inovatif.

Setelah acara usai, aku keluar dari gedung yang megah itu untuk menemui kedua orangtuaku yang telah lebih dahulu menunggu di luar. Namun, langkah kakiku harus terhenti di dekat pintu ketika seorang gadis menahan lengan kiriku. Seorang gadis yang mungkin seusiaku.

Aku berhenti melangkah. Aku memandang wajahnya. Bola matanya bertemu dengan mataku. Cahaya matanya melambangkan kesedihan yang sangat dalam, terpancar dari setitik air mata di sudut kiri matanya, mungkin gadis ini memiliki tragedi masa lalu yang sulit untuk dilupakan. Tatapan matanya mengingatkanku pada cahaya mata seseorang yang pernah aku temui. Aku mulai memilah informasi dalam otak untuk mengingat tatapan ini.

Gadis itu kemudian menunduk seolah mengetahui maksudku. Ia menyodorkan sebuah amplop berwarna merah muda kepadaku. Aku menerima amplop itu. Amplop misterius tanpa nama.
"Seseorang menitipkan itu padaku. Orang itu berpesan agar aku memberikan amplop itu tepat pada waktunya. Dia sangat berharap agar kau mau menerimanya," kata gadis itu yang menatapku dengan penuh arti.

"Ini dari siapa?" tanyaku dengan penuh rasa heran.

"Kau akan tahu setelah membacanya."

Gadis itu kemudian berbalik cepat dan pergi dengan sesungging senyum seolah beban yang selama ini ia tanggung telah terlepas. Aku hanya berdiri dalam tatapan sunyi. Diam tanpa kata, bahkan aku tak sempat menanyakan namanya. Aku hanya tenggelam dalam kata-katanya. Kata yang diucapkan dengan maksud misterius.

Kini tatapanku beralih pada amplop yang kupegang. Aku berpikir bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membukanya. Aku mengantongi amplop itu dan keluar dari gedung untuk menemui keluarga yang telah menungguku.

Acara makan dan foto bersama untuk menyambut kelulusanku telah usai. Sore itu aku berbaring di tempat tidurku. Cahaya matahari jingga melewati kisi jendela kamar. Aku membuka surat misterius itu dengan penuh kehati-hatian agar tak merusak bagian surat di dalamnya. Aku mulai membacanya pelan-pelan sambil menikmati makna dalam permainan kata penulisnya.

14 Februari 2014

Hari ini aku bersusah payah menuliskan sepucuk surat ini untukmu dan menginginkan hari yang tepat untuk kau yang menerimanya. Aku sangat berharap agar kau membacanya sampai selesai. Surat ini sengaja kutulis tepat di hari kasih sayang, hari yang kita kenal Valentine day.
"Selamat hari kasih sayang. I love you!" sesungguhnya aku sangat ingin menyatakannya secara langsung pada dirimu. Tapi, aku tak mampu. Takkan pernah mampu. Bahkan semenjak hari ini menemuimu saja aku sudah tidak sanggup. Aku bahkan menganggap diriku tak pantas untuk bersamamu lagi.
Engkau bagaikan pangeran di hatiku. Namun, aku tak lebih dari sebutir debu yang hanya numpang lewat di pandanganmu. Aku sungguh mengagumimu. Sangat mengagumimu. Bahkan, aku ragu untuk menyebutnya hanya sebagai rasa kagum. Aku mencintaimu. Aku menginginkanmu untuk mengisi kekosongan separuh jiwaku. Tanpa daya, aku tak mampu menggapaimu. Semua hanya terbatas pada angan dan mimpi dalam duniaku. Aku mulai menyukaimu tepat saat aku berkesempatan menjadi malaikat penolongmu saat kecelakaan dua tahun lalu. Mungkin saja, kau sudah tidak mengingat insiden kecil itu lagi. Insiden yang melukaimu, insiden yang menakdirkan kita untuk bertemu, insiden yang menjadikanku perawat atas luka kecilmu. Masih terlukis jelas dalam ingatanku tatapan matamu. Tatapan tajam yang melunakkan hatiku. Tatapan tegas simbol kekuatan dirimu. Tatapan itu merasuki sukmaku dan takkan pernah pudar.
Selama Sembilan belas tahun aku hidup di dunia. Aku belum pernah merasakan perasaan aneh ini. Perasaan yang indah dinamakan sebagai cinta. Cinta dalam artian penyatuan dua insan muda. Perasaan yang muncul saat aku menatapmu. Berbekal dari perasaan aneh ini, perlahan-lahan aku mulai mendekatimu. Aku sempat menganggap responmu adalah bentuk rasa cintamu terhadapku. Aku bahkan menganggap rasaku ini rasamu.
Namun, hari ini tepat dengan hari dimana aku menuliskan surat ini. Aku berniat memberikan setangkai mawar merah untukmu. Aku mengamatimu dari pagi hingga pulang sekolah hanya untuk mendapatkan sebuah kesempatan. Kesempatan untuk bertemu denganmu saat sepi. Untuk menyatakan rasa cinta ini padamu. Sore itu,saat kau berada di tepi sungai belakang sekolah dibawah sinar sang mentari jingga. Aku tidak tahu sedang apa dirimu disana, Aku mengamatimu di kejauhan di balik sebuah pohon. Saat kau duduk sendiri di tepi sungai, aku berpikir bahwa inilah kesempatanku untuk menyerahkan bunga yang masih ku genggam kepadamu. Ketika kakiku mulai melangkah menuju tempatmu. Langkahku terhenti. Segalanya berubah, aku melihat seorang perempuan mendekatimu. Perempuan yang mirip denganku. Perempuan yang sangat aku kenal, perempuan yang sangat aku sayangi. Aku melihat dirimu menerima bunga pemberian darinya. Bunga yang sama yang akan kuberi pada hari ini. Seulas senyum bahagia terukir di bibir dua orang yang aku cintai. Pupus sudah segala harapan, angan dan cinta.
Kuhentikan langkahku. Tidak, aku bahkan belum melangkah. Tapi, aku memilih berhenti. Aku merelakanmu untuknya. Untuk orang yang lebih dari sekedar kenal. Aku tak mampu untuk melihat pemandangan ini lebih lama lagi. Aku pergi dan tak pernah menoleh lagi.
Dalam sepi aku menangis. Meratapi tragedi cinta pertama. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku tak sanggup menghadapi rasa sakit ini. Aku ingin mengakhiri hidupku, agar aku tak pernah lagi melihat kalian. Sebelum aku mengakhiri surat ini, aku ingin mengucapkan "Selamat atas kelulusanmu. Semoga sukses menata hidup baru. Aku selalu mendukung dan mendoakanmu dari tempat yang berbeda."
Jangan mengkhawatirkan rasa sakit menuju detik kematian. Itulah bisikan yang aku dengar saat aku berada dalam sepi. Overdosis dari morfin ini perlahan-lahan merengut sebagian...dari......kesadaranku.. Darahku mengalir....tanpa henti. Aku telah tiada... Jangan khawatir...Cukup sampai.....disini. Se..la...mat ting...gal.

Selesai membaca surat ini, aku hanya teringat satu nama. Fiola Renata. Pedih mulai mengiris hati. Tak menyangka aku akan menitikkan air mata untuknya. Kupeluk surat darinya. Karena hanya surat ini yang dapat kupeluk. Aku tak pernah menyadari cintanya. Air mata semakin deras mengalir membasahi lekuk wajahku. Mengapa aku menangis? Apakah ini rasa cinta? Bukan, ini sebuah penyesalan. Detik demi detik kunikmati untuk memeluk peninggalan terakhirnya. Kuresapi makna setiap katanya. Aku mencoba untuk merasakan juga penderitaannya.

Teringat akan kenangan masa lalu. Aku membuka buku angkatan empat tahun lalu. Buku angkatan yang dibuat saat masa orientasi mahasiswa baru. Lembar demi lembar kubuka untuk mencari datanya. Aku menemukannya, menemukan alamatnya. Aku menulis surat balasan untuknya. Tanpa pikir panjang, bergegas menuju alamat rumahnya.

Di depan halaman rumahnya. Terdiam sesaat untuk mengumpulkan keberanian diri. Keberanian diri untuk sejenak kembali ke masa lalu. Kuketuk pintu perlahan-lahan. Seorang gadis muncul kembali. Gadis yang aku temui di pinggir sungai. Gadis yang memberiku surat ini. Aku bertanya dimana si penulis surat. Dia terdiam sesaat. Terlihat setitik air mata disudut matanya.

"Kakak sudah tiada. Meninggal dua tahun lalu. Temui dia di tempat peristirahatannya."

Cukup lama aku menatapnya. Menatap wajah yang sangat mirip dengan Fiola. Fiola Renata.

26 Februari 2016

Hari ini aku telah menerima suratmu. Jangan khawatir, aku telah selesai membacanya . Aku berusaha meresapi setiap makna dari kata yang kau rangkai menjadi tulisan itu. Melalui surat ini aku ingin mengucapkan terimakasih untuk dirimu. Untuk semua ucapan dan doa yang telah kau tulis. Terimakasih karena dirimu pernah menjadi malaikat penolongku dalam insiden yang sempat terlupakan dalam memori. Aku bahagia, sangat amat bahagia karena kamu pernah menempatkan aku sebagai cinta pertama hatimu. Aku terlambat mengetahui semua ini, bahkan mungkin terukir sebuah luka penyesalan karena tidak dapat membalas rasamu. Melalui surat ini juga aku ingin mengucapkan satu kata. Satu kata yang lazim diucapkan oleh orang-orang menyesal.
Maaf. Maafkan aku yang pernah membuat pikiranmu menganggap bahwa dirimu hanyalah sebuah debu. Maafkan aku yang tidak pernah membalas rasa cintamu. Maafkan aku yang ikut mengambil peran dalam hatimu sebagai penyebab pengkhianatan atas hidupmu.
Andai waktu dapat berputar kembali. Aku ingin menghilang dari masa lalumu. Menghapus sejarah kelam yang pernah terjadi. Aku ingin memeluk dirimu agar tak pernah pergi. Aku sadar, semua ini hanyalah khayalan yang tak mungkin terjadi. Aku hanya dapat menikmati rasa penyesalan ini, mengubur rasa ini di relung hati yang paling dalam. Terimakasih atas perjuangan terakhirmu yang telah mengungkapkan sebuah rasa dalam tulisan yang penuh penderitaan. Semoga dirimu tenang di alam sana. Doaku selalu menyertai jiwamu. Selamat tinggal. Fiola Renata.

Aku berdiri disamping tempat pembaringan terakhir raganya. Sepatah kata doa kuucapkan dalam hati agar jiwanya tenang di alam sana. Lalu, sebagai persembahan terakhir, aku meletakkan seikat bunga didekat batu nisannya. Di dalam jalinan ikatan bunga itu kuselipkan surat balasan untuk dirinya. Surat balasan yang perlahan-lahan akan terkubur bersama dirinya. Rintik air hujan menemani perjalananku meninggalkan dirinya.

Karya: RirinPratiwi

InterGen - Antologi RomansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang