12

367 37 0
                                    

Author's Note :

Jadi, berhubung chapter 11 author gak terlalu 'ngeh' sama ceritanya, HERE IT IS! Author bikinin new chapter :3. HAPPY READING GUYS!

--------------------------------------

"Ah, iya! Nico! Kemana saja kau kemarin? Aku tidak melihatmu lagi setelah makan malam." 

"Itu bukan urusanmu," kata Nico dingin.

Jean setengah bingung dengan anak ini. Beberapa menit yang lalu, Nico bisa dibilang cukup ramah padanya. Saat mereka sudah sampai pertengahan bukit, sifatnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

"Oke, deh." Jean mengalah. Ia memang penasaran. Tapi, apa boleh buat? Daripada Jean dikejar oleh sepasukan hantu, lebih baik diam saja deh.

Mereka melanjutkan perjalanan. Jean tidak tahu Nico akan megajaknya kemana. Kalau boleh berharap, mungkin Jean ingin Nico membawanya ke sebuah tempat relaksasi. Soalnya, tangannya sudah pegal sekarang membawa koper dari atas bukit.

Juga, koper yang dibawanya terasa semakin berat setiap kali Jean melangkah. Nico sepertinya tidak peka - peka. Padahal, Jean sudah mengatakan 'Aduh! Koper ini berat sekali!' berulang kali dan bertingkah layaknya lansia yang mengalami rematik. Tapi, tetap saja, Nico hanya terus berjalan tanpa memedulikan dirinya. Koper tanpa roda memang sungguh merepotkan.

"Mau kemana sih? Tanganku sudah pegal, nih!" Nico berhenti, lalu menoleh ke arah Jean.

Ia tiba - tiba mengambil koper yang sudah Jean bawa sedari tadi. Jean ingin sekali berteriak 'Dari tadi, dong!', tapi Jean mengurungkannya.

"Danau." ucapnya singkat.

Jean melihat Nico dari belakang. Sepertinya, koper itu kalau dibawa Nico enteng - enteng saja. Sungguh tidak adil!

"Jean! Kau sudah ditunggu, tuh, di Rumah Besar!" teriak seseorang dari kejauhan.

"Eh? Piper?" 

"Ayo!" Piper melambaikan tangannya ke arah Rumah Besar.

Jean menoleh ke arah Nico. "Eh, bisa tolong bawakan koper itu ke kabin Poseidon? Terima kasih dan sampai bertemu lagi!" Ia segera berlari menyusul Piper.

Jean tidak sempat melihat reaksi Nico. Tapi, semoga saja dia mau mengantarkan koper itu dan tidak membuangnya di dunia bawah. Kalau dia sampai membuangnya, ya sudah. Pasrah saja. Mungkin kalau Hades berbaik hati, ia akan bersedia membawakan koper itu kembali pada Jean.

Setelah dua menit berlari, nafasnya tersengal - sengal. Jean telah berdiri di depan Rumah Besar. Ia juga melihat Percy menunggu di depan sambil memainkan bolpoinnya.

"Ayo, kau sudah ditunggu, tuh." ucap Percy.

Percy lalu masuk dan menghilang di balik semacam korden berwarna cokelat. 

Rumah ini masih sama seperti kemarin. Hanya saja, suasanya seperti lebih mencekam dan menakutkan. Macan tutul yang terletak di atas perapian juga membantu menambahkan kesan itu.

"Jocephine Study," kata sebuah suara di depannya.

"Eh, sebenarnya Jeanice-"

"Aku tahu, aku tahu. Duduk sajalah disitu. Anak - anak Poseidon memang menyebalkan." Lalu, Jean menyadari orang yang mengatakan itu adalah pria gendut yang sama yang ditemuinya tadi pagi.

"Nah, sekarang dimana centaur itu? Chiron!" 

Seorang pria tua masuk ke ruangan dengan membawa dua orang dibelakangnya. Jean kenal salah satu orang itu. Dia Annabeth. Tapi, wajah orang di sampingnya sangat asing bagi Jean. Wajahnya cantik namun sangat tegas. Ia juga mengenakan pakaian yang aneh. Seperti, pakaian yang digunakan bangsa Romawi dahulu kala.

"Aku disini. Santai sedikit, Pak D." ucap Chiron. "Aku membawa Annabeth dan Reyna. Kebetulan, bangsa Romawi baru saja berkunjung."

"Terserahlah! Nah, Nona Shrek-"

"Steady, Pak." 

"Apalah itu! Katakan apa yang kau tahu tentang kejadian tadi."

Jean agak bingung juga. Apa dia harus memberi tahu mimpinya sekarang?

"Cepatlah, Nak. Aku masih mempunyai pekerjaan bodoh di Olympus."

Tunggu. Olympus? Pria gendut di depannya ini dewa? Jean membayangkan gambar dari dua belas dewa - dewi Olympus yang pernah ditunjukkan Annie. Ada salah satu dewa sedang membawa cangkir yang berisi cairan berwarna cokelat. Diet Coke di tangannya juga tidak asing.

"Bapak ini Dionysus?"

"Butuh waktu berapa lama supaya kau mengenalku, Bocah? Sekarang, cepat ceritakan sebelum aku menjadi tidak sabar dan mengubahmu menjadi lumba - lumba."

Lumba - lumba? 

Jean bergidik ngeri, lalu ia mulai menceritakan mimpinya. "Eh, begini, Pak. Tadi malam, saya mendapat mimpi tentang seorang anak yang mengianati perkemahan." 

"Menghianati?" tanya Annabeth. "Apa dia teman kita?" Ekspresinya agak sedikit was - was.

Jean tahu mengapa ekspresinya bisa seperti itu. Annabeth pernah dihianati oleh sahabatnya sendiri, Luke, saat Kronos bangkit bertahun - tahun yang lalu. Mungkin kata 'menghianati' adalah kata yang sensitif bagi dirinya.

"Belum tahu. Hanya saja, suaranya seperti cowok berusia belasan tahun."

"Apa anak itu familiar di perkemahan ini?" giliran Chiron yang bertanya.

"Saya tidak tahu. Saya hanya tahu dia dipanggil 'Bocah Api' oleh sebuah makhluk bermata satu." 

"Ada lagi, Nona Staedy?"

"Kurasa itu saja." Jean belum tertarik untuk meceritakan mimpinya tentang si suara dingin nan mencekam serta keinginannya untuk menghancurkan Olympus.

"Bocah api?" Percy menyeletuk.

Reyna, yang sedari tadi diam, mulai bereaksi. "Demigod yang dipanggil 'Bocah Api'? Hal paling dekat adalah, pasti anak itu keturunan Vulcan."

"Vulcan? Maksudmu He- apa itu? Sial, aku lupa," Jean berpikir keras. "Hermes, bukan?"

Reyna menggeleng. "Itu bahasa romawi dari Hephaestus." Ia lalu menambahkan. "Tidak ada demigod keturunan dewa lain yang mempunyai api di dalam dirinya."

Percy dan Annabeth saling memandang cemas.

"Tapi, sudah tidak ada lagi anak Hephaestus yang bisa menghasilkan api. Yang terakhir itu," ucapan Annabeth terhenti. Matanya mulai berair.

"Leo Valdez." kata Chiron. "Dan dia sudah meninggal dua tahun yang lalu." []




Seriously?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang