"Aku ingin seperti matahari, yang rela meredup demi membiarkan sang rembulan bersinar"
Setelah meletakan kembali handpone milik Devan ke atas nakas, Sania memutuskan untuk keluar menemui Rere yang sedang menunggu di Ruang tamu. Tanpa banyak pertimbangan Sania melangkahkan kakinya ke lantai dasar lengkap dengan muka bantal serta seragam sekolah yang kusut. Dia menjatuhkan tubuhnya, bergabung duduk disebelah Rere.
"Lo kapan dateng, Re?"
Rere tak bergeming. Dia sedang memperhatikan sebuah lukisan mawar hitam yang terpajang di tembok. Matanya menelusuri goresan demi goresan si pelukis di atas kanvas yang semula putih itu. Ayah Rere dulu adalah seorang pelukis jadi, tak ayal dia bisa sedikit mengerti arti dari lukisan tersebut.
Kening Sania mengernyit heran, dia mengalihkan pandangan dari wajah Rere ke lukisan yang juga sedang dipandang Rere tanpa berkedip. Sania tersenyum puas setelah mengetahui apa yang membuat Rere diam seperti itu. Fikirannya berspekulasi bahwa Rere sedang mengagumi keindahan lukisan tersebut. Jari telunjuknya mengarah kepada lukisan di depan.
"itu" Sania memberi jeda kemudian wajahnya kembali menghadap Rere. "yang bikin Devan. Masih baru, bikinnya beberapa hari yang lalu"
Masih beberapa hari yang lalu. Dengan begitu, itu artinya lukisan tersebut adalah gambaran dari apa yang Devan rasakan akhir-akhir ini. Sedih, kata yang bisa Rere simpulkan setelah memperhatikan coretan tinta hitam itu begitu lama. Pertanyaan demi pertanyaan terus membanjiri fikiran Rere sehingga dia tidak sadar Sania telah berkali-kali memanggil namanya.
"eh apa?" Tanya Rere gelagapan.
"bengong aja lo" Sania mendelik. "by the way bagus ya lukisannya, tapi kenapa harus warna item sih. Kan nggak cantik kayak bunga mawar asli"
"itu seriusan Devan yang bikin?" Rere masih ragu mengenai kebenaran yang dikatakan Sania. Alasannya selama ini dia tidak pernah melihat wajah sedih Devan. Cowok itu selalu terlihat ceria kapanpun dan dimanapun.
Sania mengangguk tanpa ragu dengan rasa bangga.
"iyalah, gue liat sendiri kok dia bikin"
"Lagi pada ngomongin apa sih?" Raina—Mama Devan datang dari balik tembok penyekat antara ruang tamu dengan ruang makan yang tergabung dengan dapur. Ditangannya sebuah nampan yang di atasnya berbaris beberapa gelas berisi minuman dingin yang dari warnanya kita bisa menebak bahwa minuman tersebut memiliki rasa seperti jeruk.
"aduh tante maaf jadi ngerepotin" Rere berdiri lalu membantu Raina meletakan beberapa minuman itu ke atas meja.
"ini sih enggak ngerepotin sama sekali" Raina berdiri berhadapan dengan Rere dan Sania dengan dibatasi meja. Di peluknya di depan dada nampan coklat yang sudah kosong itu.
Suara bell pintu mengalihkan perhatian mereka bertiga.
"ada tamu nih, tante tinggal dulu ya" Raina meletakan nampan yang dipeluknya tadi kemudian berlari kecil menuju pintu utama untuk membuka pintu.
"Iya tante"
"iyaa"
Seiring dengan menghilangnya Raina, Rere memandang Sania lalu mendengus dan kembali duduk. Dia baru menyadari bahwa Sania masih lengkap berseragam sekolah.
"Sania ih jorok banget sih lo, masih make seragam sampe jam segini. Bau tau gak."
"biarin deh, gue juga baru bangun kok" Sania menyahut dengan gaya santai seakan tidak ada apapun yang akan terjadi hanya karena dia memakai seragam sekolah terlalau lama. Dia sedikit mengangkat pantatnya dari sofa putih itu lalu mengambil segelas minuman dingin yang dibawakan oleh Raina. Diteguknya minuman tersebut dua kali kemudian menaruh kembali gelas itu ke atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Love Story
Teen Fiction"Devan! mati lo abis ini" "Devan tai" "Eh cowok gila, dasar kutil dugong" "ngeselin banget sumpah, awas aja lo gue ulek jadi sambalado" Tiada hari tanpa pertengkaran. Devan itu orangnya jail banget, hobinya bikin Sania gondok mulu. Menurut Sania, D...