Sejak kembali dari kantin Devan masih belum mau berbicara padanya. Cowok itu sedang berkonsentrasi memperhatikan guru di depan kelas sementara dirinya beberapa kali mengganti posisi duduk. Merasa tak nyaman akhirnya Sania menjatuhkan kepalanya di atas meja. Menyangga dagunya dengan tangannya yang dilipat.
"Kenapa harus ada sekolah di dunia ini? Gue gak kuat ya Allah, otak rasanya mau meledakkkk" Sania bergumam pelan. Kepalanya di penuhi pertanyan seputar alasan kenapa harus ada sekolah di dunia ini.
"Seandainya sekolah masuk jam 9 pagi terus pulangnya jam 10. pelajaran matematika, fisika, kimia dan biologi di hapus, ahh indahnya dunia, surga banget"
Devan tersenyum samar mendengar ocehan konyol Sania. Di saat dia marah seperti ini Sania selalu bisa menormalkan emosinya. Membuatnya tersenyum tanpa alasan.
"Kalo sekolahnya gitu ya teknologi nggak akan berkembang pesat. Lo fikir gadget ada karena sulap pak tarno?"
Sania mengangkat kepala lalu menoleh menatap Devan. Dia sedikit tercengang karena Devan ternyata mendengar gerutuannya.
"Seandainya nggak ada kimia lo kalo sakit nggak minum obat, nggak ada fisika nggak ada pesawat. Biologi itu mempelajari segala sesuatu yang ada di hidup, ilmu alam lebih tepatnya. Itu agar kita tahu kebesaran Tuhan seperti apa. Dan semua yang ada di fisika, kimia, dan biologi menggunakan ilmu matematika juga, simplenya sih matematika itu ilmu pelengkap"
Sania meringis mendengar penuturan panjang lebar Devan. Dia mengangguk meski dirinya tidak mengerti sepenuhnya.
"Jadi sekarang jangan ngeluh lagi kalo belajar. Kuncinya lo harus menyukai dulu pelajarannya, baru bisa ngerti"
"Itu sih bagi yang pinter, lo kan emang dari sananya suka belajar. Lah gue yang otaknya ilang setengah gini gimana?"
Devan menjawili hidung Sania dengan gemas. "Yaudah lo nggak usah belajar deh"
"Eh tapi ntar gue bego, terus pas lulus nilai jelek, masa depan gua suram dong. Pas gede jadi pengangguran lah gue makan apa?"
"Ada gue yang nafkahin"
Bisakah Sania menggigit bantal saat ini untuk menahan teriakannya?
***
Sepulang sekolah Sania dan Devan mampir ke kedai es krim. Sania sibuk menikmati es krimnya sementara Devan hanya diam dan menonton. Selalu seperti itu, karena Devan tidak bisa memakan sesuatu yang terlalu manis.
Devan mematikan ponselnya. Tak terhitung berapa banyak panggilan masuk dari Rere. Bahkan sampai tadi sebelum ponselnya Devan non-aktifkan Rere masih berusaha menghubunginya.
"Kenapa?" Tanya Sania bingung memandang teliti mimik wajah Devan.
"Nggak ada, udah selesai? Yuk pulang" Sania mencebik, cowok itu malah mengalihkan pembicaraan.
"Ihh gue nanya juga, muka lo asem gitu"
"Enggak ada apa apa bawel"
"Pelit! yaudah kalo gitu es krim ini lo yang bayar, titik nggak pake koma atau tanda tanya" Sania berjalan keluar kedai dengan wajah masam, meninggalkan Devan yang sedang terkekeh menertawainya.
Dia berjalan menuju tempat Devan memarkirkan mobil dengan kaki di hentakkan. Sampai di dalam mobil Sania menggerutu kesal. Tapi kenapa dia jadi sebegitu penasarannya dan kenapa harus marah? Entahlah.
Sania tersenyum miring melihat benda persegi berwarna hitam milik Devan. Cowok itu meninggalkan dompetnya. Sambil tertawa bahagia dia membayangkan wajah Devan di dalam sana. "Mampus lo"
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Love Story
Novela Juvenil"Devan! mati lo abis ini" "Devan tai" "Eh cowok gila, dasar kutil dugong" "ngeselin banget sumpah, awas aja lo gue ulek jadi sambalado" Tiada hari tanpa pertengkaran. Devan itu orangnya jail banget, hobinya bikin Sania gondok mulu. Menurut Sania, D...