Hidup Sania kembali seperti biasa, dia sudah menyesuaikan diri dengan keadaan yang akan sering di alaminya, rasa sakit dan cemburu selalu ia rasakan dikala mendengar Devan menceritakan bagaimana kesehariannya dengan Rere. Jika tidak tahan ia akan mengasingkan diri lalu menangis sejadi-jadinya tanpa sepengetahuan Devan.
Jika biasanya Sania akan menceritakan masalahnya pada devan namun kali ini tidak bisa, ia tidak mungkin menceritakan kepada orangnya langsung.
Sama juga dengan Sania hidup Devan kembali berjalan normal bahkan luka di kepalanya kini sudah sembuh, tidak ada lagi masalah. namun yang masih menjanggal adalah perasaannya. Ia terkadang tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya.
Seminggu berlalu setelah devan keluar dari rumah sakit. Kini dia bisa menjaili Sania lagi, membuat wajah gadis itu memerah lalu dia akan tertawa dengan sangat kerasnya.
Devan Alvaro, jambulnya sudah kembali tumbuh memanjang. Angin sore menerbangkan beberapa helai rambutnya. Dia sedang menikmati pemandangan sore di depan rumah ditemani secangkir teh hangat yang baru saja di buatkan Raina. Beberapa kali hpnya bergetar menandakan panggilan masuk namun ia tak menghiraukan. Dia terlalu terbuai dengan hembusan angin yang menerpa wajahnya.
"Sayang!" kening Devan berkerut, Rere sedang berlari kecil menghampirinya dengan ponsel yang menempel di telinga. Wajahnya masam dan memerah karena kesal. "Kamu kok nggak angkat telfon sih?" cewek itu menggerutu lalu duduk di kursi kayu sebelah Devan. "Ini hp kamu, masa kamu nggak denger aku nelfon" Rere meraih ponsel milik Devan lalu mengangkatnya kedepan cowok itu.
Devan kembali menyeruput teh hangatnya dengan santai lalu meletakan gelas itu di atas meja. "Re aku nggak denger, maaf ya" Hanya itu yang Devan ucapkan dan kembali sibuk dengan teh miliknya.
Perlahan rasa senang saat berada di dekat Rere menghilang, terkadang devan merasa muak dengan suruhan dan permintaan aneh cewek itu.
"Devan ih! Kamu nyebelin banget sih!" suara Rere meninggi.
Devan tetap menatapnya cuek walau sebenarnya cowok itu merasa sedikit kesal dengan perlakuan Rere padanya yang semakin lama semakin melenceng.
"Kita jalan-jalan yuk, sekalian ajak Sania" Devan meraih tangan Rere di atas meja lalu menggenggamnya. Menatapnya lembut berharap gadis itu bisa lebih tenang.
"Sania?!" Rere bertanya tak percaya. Sepertinya Devan lupa, akhir akhir ini dia mulai tahu bahwa hubungan Rere dan Sania sedang tidak baik, dia sendiri tidak tahu sebabnya, tapi tingkah dua cewek itu yang memberinya petunjuk.
"ah enggak maksud aku"
"Apa! maksud kamu apa? kamu mau dia rusak kencan kita lagi? Dia itu hama di hubungan kita, pengganggu yang seharusnya enyah!"
"Rere tutup mulut kamu!" devan berteriak membuat Rere tersentak dan ocehannya berhenti seketika. Dia bungkam, bibirnya seperti lumpuh total karena bentakan Devan padanya.
"Kamu jahat" ucap Rere parau, kini air matanya sudah menggenang dan kemudian jatuh melewati pipinya.
Dalam hati Devan memaki dirinya sendiri. Apa dia sudah kelewatan pada Rere? Tapi Devan tidak suka jika ada orang yang menjelek-jelekan Sania di depannya. Dia tidak akan diam dan akan memarahi orang itu sekalipun orangnya adalah Rere.
"Pacar kamu disini siapa sih? Aku atau Sania?" Rere terisak. "kenapa kamu jadi gini? kamu benci sama aku? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?"
Jika ada doraemon di dunia ini dia ingin meminjam pintu kemana saja dan memilih pergi ketempat tenang dimana dia bisa menghilangkan stress di kepalanya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Love Story
Teen Fiction"Devan! mati lo abis ini" "Devan tai" "Eh cowok gila, dasar kutil dugong" "ngeselin banget sumpah, awas aja lo gue ulek jadi sambalado" Tiada hari tanpa pertengkaran. Devan itu orangnya jail banget, hobinya bikin Sania gondok mulu. Menurut Sania, D...