kecepatan Laju mobil Devan semakin bertambah seiring dengan rintik hujan yang menghantam jendela mobilnya berubah menjadi gumpalan air yang turun deras dari langit. Penghuni mobil yang di kendarai Devan masih tetap sama, hanya ada dirinya dan Sania.
"Dev, kita mau kemana?" Rasa penasaran yang Sania pendam seperti bom atom di dalam dirinya yang siap meledak kapanpun. Dia menatap cowok itu dengan wajah penasaran. Namun jawaban dari Devan membuatnya mendesah kecewa.
"Ntar aja lihat"
"Pelit" Sania membuang pandangan ke arah jendela mobil. Dia sudah lelah membujuk Devan agar mau memberitahunya tujuan mereka itu kemana. Dibawah sana kaki Sania bergerak tak nyaman. Devan menyadari hal itu, tapi bukan surprise namanya kalau dia memberitahu tempat tujuan mereka.
Sania sampai tertidur memikirkan kemungkinan-kemungkinan tempat yang akan mereka datangi. Devan mematikan mesin mobilnya lalu menyandarkan punggungnya dan meregangkan otot-ototnya yang menegang setelah menyetir. Dia melihat ke sekitar dari dalam mobil. Masih tidak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu, bahkan rumah kayu kecil dibawah pohon yang menjulang tinggi itu masih ada.
Puas memandangi ruang masa lalunya, Devan beralih pada Sania. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah cewek itu. Membukakan seatbelt dan tidak berniat membangunkannya. Namun gerakan-gerakan halus Devan menyadarkan cewek itu. Perlahan mata Sania terbuka.
"Masih ngantuk?"
Sania mengangguk.
"Tunggu" Sania tidak tahu apa yang akan Devan lakukan selanjutnya. Dia hanya mematuhi perintah cowok itu dan memperhatikan Devan yang keluar dari mobil. Dari kaca depan Sania bisa melihat Devan yang berlari kecil mengitari mobilnya. Alis Sania terangkat saat pintu mobil di sebelahnya Devan buka.
"Mau ngapain?"
"Naik kepunggung gue"
Suruhan Devan seperti perintah yang wajib ia patuhi. Setelah badannya berada di atas punggung Devan, Sania segera memeluk leher cowok itu. Suara pintu mobil yang Devan tutup berdengung di telinga Sania. Dia memperhatikan tanah yang diinjak Devan, hujan sudah reda, menyisakan bau khas yang membuat kita rindu akan datangnya hujan. Sania mengangkat kepalanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu mengeluarkannya perlahan.
"Ini dimana?" Gedung rumah tua di depannya menjadi sebuah tanda tanya besar di kepala Sania. Tapi tujuan Devan bukan untuk masuk ke dalam rumah itu. Kakinya melangkah membawa Sania ke rumah kayu kecil.
Devan menurunkan tubuh Sania di depan rumah kayu itu. "Ini rumah lama gue" jawabnya. akhirnya Devan mau menjawab pertanyaan Sania tanpa membuat cewek itu menekuk wajah lagi.
Sania mendongak, melihat kesamping, depan dan belakang. Fikirannya bercabang kesana kemari dan tidak memiliki ujung yang tentu.
"Sini masuk" Sania mendekati Devan yang sedang membuka gembok yang terpasang di pintu rumah kayu tersebut. Devan membuka lebar pintunya setelah gembok itu berhasil ia lepaskan. Sania mengikuti Devan yang membuka sepatu sekolahnya dan membiarkan kakinya hanya terbungkus kaus kaki.
Sania menundukan kepalanya saat akan masuk lewat pintu mungil rumah kayu yang berukuran sekitar 3×2 meter. Tidak cukup besar bagi dua anak remaja seperti mereka.
Saklar lampu dinyalakan Devan. Sekarang mata Sania bisa melihat isi rumah kayu dengan pencahayaan yang bagus.
"Happy birthday"
TBC
Wajib baca nih buat para readers :
Wkwkwk pendek ya? Iya emang. Tapi ntar lanjut lagi kok. Btw cuma mau ngasi tau, gue punya cerita baru yang judulnya "K Vs Pluto". Prolognya bisa kalian baca dulu, yang mau cek profil gue sist, rencananya itu jadi pengganti hsls kalo udah end. Minta saran kalian buat cerita baru gue yah;)
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Love Story
Teen Fiction"Devan! mati lo abis ini" "Devan tai" "Eh cowok gila, dasar kutil dugong" "ngeselin banget sumpah, awas aja lo gue ulek jadi sambalado" Tiada hari tanpa pertengkaran. Devan itu orangnya jail banget, hobinya bikin Sania gondok mulu. Menurut Sania, D...