I Yah [bonus fic]

17K 1.2K 189
                                    

Sebenarnya Wahyu tidak mengerti siapa yang lebih bodoh—dia atau Nathan.

Secara akademis, jelas sekali bahwa ia jauh lebih bersinar ketimbang Nathan. Ha, Nathan tidak bisa diandalkan jika sudah berurusan dengan otak. Bukan berarti Nathan sangat bodoh, tapi serius kecerdasan Nathan sangatlah rata-rata hingga membuat Wahyu frustasi sendiri terkadang. Astaga, hanya Nathan-lah yang paling santai jika mendapat nilai di bawah KKM.

Namun, mari kita berbicara di dalam konteks lain. Wahyu termasuk ke dalam satu dari tiga orang di kelasnya yang paling mudah dibodohi. Dari diusili tanpa ampun sampai membuatnya merasa ter-bully (tapi jelas itu hanya perasaannya, karena seluruh teman sekelasnya menyayainginya) hingga terpojok jika sedang debat.

Ngomong-ngomong, dua orang lainnya yang menempati posisi ‘Paling Mudah Dibodohi' adalah Faisal (karena ia terkadang terlalu polos) dan Nada (gadis yang dulunya merupakan tetangganya pun juga terseret ke daftar gelap ini).
Wahyu memikirkan hal ini bukan tanpa alasan.

Kini ia tengah berdiri di depan pintu gerbang sekolahnya, menunggu seseorang yang seharusnya sudah bersamanya sejak lima belas menit yang lalu.

Dan ia sadar bahwa ia bodoh. Orang yang ditunggunya saat ini adalah orang paling malas yang pernah ada di kelasnya—jelas-jelas datang tepat waktu bukanlah prioritasnya.

Hanya saja ayolah, sekarang ini adalah pertengahan musim hujan dan udara menjadi sangat dingin jika hanya menggunakan seragam tipis ini tanpa berbalut jaket apapun. Ya baiklah, Wahyu mengaku ia tidak membawa jaketnya saat berangkat sekolah tadi karena malas. Dia lebih menyukai rompi, namun kini semua rompinya tengah terdampar di tempat cucian kotor.

Dan sekedar informasi, ia memiliki selusin rompi. Bahkan sang pemiliknya bertanya-tanya mengapa semua rompinya menjadi kotor. Itu bagaikan sebuah misteri kehidupan tersendiri bagi Wahyu.

“Woy.”

Sebuah suara berat mengusik pikiran Wahyu (sekaligus mengagetkannya), membuatnya menoleh dan menemukan makhluk jangkung tengah berdiri di sampingnya.

“Tai, lama banget lo,” keluh Wahyu langsung. Hujan masih belum mereda dan ia tidak mengharapkannya untuk cepat reda. Meski Wahyu bukan pecinta hujan, ia pikir tidak ada salahnya untuk menikmati tiap rintik air ini. “Kalau gue hipotemia terus dirawat lo yang bayarin asuransi gue ya.”

Nathan mengangkat alisnya. “Ogah,” jawab Nathan singkat. “Siapa suruh dateng tepat waktu.”

Sebenarnya di sini yang sialan siapa?

“Lo ngeselin banget sih,” Wahyu menghela nafas, menahan dirinya untuk mencekik pemuda di hadapannya. Dia tidak mau terdampar di penjara hanya karena membunuh makhluk yang visi-misinya abstrak banget seperti manusia di hadapannya ini. “Dateng tepat waktu itu tindakan rasional. Dimana-mana yang salah itu lo, sok-sokan ngeles.”

“Gue punya alasan kenapa gue telat.” Nathan melirik Wahyu dengan dingin, untung saja Wahyu sudah terbiasa dengan kelakuan anehnya.

“Mau beralibi?”

Nathan berdecak. “Bukan alibi,” dan Nathan kini memandang wajah Wahyu. “Sharon tadi minta saran buat formasi baru anak Cheers.”

Oh.

Wahyu tidak tahu harus menjawab apa. Sesuatu di dalam dirinya terasa mencelos, tetapi ia berusaha mengabaikannya. Urusan Nathan dengan Sharon jelas tidak melibatkan dirinya—dia tidak akan memiliki masalah untuk itu.

Wahyu baru saja akan membuka mulutnya ketika sebuah lengan melingkar di bahunya, menariknya untuk lebih dekat ke arah pemuda jangkung pemain tenis di sampingnya.

“Lo mau tau sesuatu gak?"

Nathan bukan orang yang biasa berteka-teki, jadi Wahyu mengerutkan keningnya karena berusaha menebak kelakuan aneh apa lagi yang akan dilakukan Nathan. "Apa?"

"Lo lucu kalau lagi cemburu.”

“Ha?”

Senyum samar terbentuk di bibir Nathan sebelum ia mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda yang lebih kecil. “Harusnya tadi gue foto, lucu ekspresinya,” lanjut Nathan. Otak Wahyu terasa macet mendadak. “Kayak anjing yang ditinggalin gitu aja sama majikannya.”

Dan Wahyu langsung menginjak keras kaki Nathan, membuat lawan bicara mengaduh.

“Lo kali yang anjing,” Wahyu mengatakannya dengan ekspresi datar—dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak cemberut atau malah tertawa. Jika Nathan bisa melakukan ekspresi itu tiap saat, mengapa ia tidak? “Bacot ah.”

Senyum di bibir Nathan tidak memudar, malahan semakin melebar.

Sialnya, Wahyu tahu Nathan sangatlah tampan saat tengah tersenyum.

“Ayo pulang, hujannya udah agak reda.” Kata Nathan pada akhirnya, melepaskan rangkulannya pada bahu Wahyu lalu mendorong pelan punggung pemuda itu.

“Lo nyuruh gue nungguin lo cuma buat ngajakin pulang bareng?”
“Gue anterin sampe rumah.”

“HOI!”

Helaan nafas terdengar dari bibir Nathan. “Apa lagi?” tanyanya pada Wahyu yang kini memandangnya dengan sebal.

Sebenarnya Wahyu ingin menolak tawaran Nathan untuk mengantarnya pulang, mengingat mereka kini tidak tinggal serumah lagi. Dan jarak tempat tinggal Wahyu yang baru dengan rumah Nathan tidak bisa dibilang dekat meski juga tidak terlalu jauh.

Tetapi melihat Nathan yang kini menatapnya lurus dengan pandangan lembut—yang jelas-jelas sangat langka untuk bisa disaksikan bahkan untuk Wahyu, membuat Wahyu menutup kembali mulutnya dan tersenyum semanis yang ia bisa.

“Makasih.”

Nathan kembali tersenyum samar. Ia menundukan kepalanya dan mencium bibir Wahyu.

Ciuman itu singkat—lebih mirip sebuah kecupan tapi itu cukup untuk membuat Wahyu merasa habis diterpa tornado hebat.

“Sama-sama.”

Dan Wahyu sudah menemukan jawaban dari pertanyaannya.
Ia dan Nathan mungkin sama-sama bodoh di berbagai macam bidang.

.

.

A/N : Cara baca judulnya itu 'Aiyah'. Inspired by I YAH - Boyfriend, lagu K-Pop tahun 2012 (kalau gak salah) yang masih kedengeran catchy bahkan setelah 5 tahun ini asdfghjkl.

Ini draft dari setahun lalu, baru sempat aku revisi. Anggap saja ini sebagai DP update aku untuk Retrograde, lol.

Btw, time flies so fast. Aku sekarang kelas 12 :") doain aku lulus ya, hehe.

Personal Taste [BoyxBoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang