22. End of the Game

24.4K 1.7K 293
                                    

Wahyu

Secangkir susu dingin rasa cokelat berada di tangannya sementara pandangannya tetap tertunduk, menghindari kontak mata dengan Nathan yang duduk tak jauh di depannya. Mereka berdua kini berada di teras rumah, dan syukurlah Nathan sudah menggunakan pakaiannya—kaus lengan panjang warna abu-abu dan celana pendek selutut warna hitam.

Udara malam ini cukup dingin, harus ia akui. Mungkin faktor musim penghujan yang tengah berlangsung. Kabarnya, sore tadi Jakarta diguyur hujan—tapi mengingat Wahyu tertidur layaknya orang mati dari tadi siang, dia sama sekali tidak menyadarinya. Tetapi dari udara dingin dan jalanan yang masih basah, Wahyu menyakininya.

"Kenapa di udara sedingin ini lo malah ngehidangin susu dingin?" suara protes Nathan melenyapkan keheningan yang baru saja siap Wahyu taksir. Wahyu mengangkat wajahnya, menatap kerutan di dahi Nathan sebelum berdecak kecil. Apa pemuda ini tidak bisa berhenti melayangkan sesuatu yang berbau negatif?

"Gak ada susu panas. Masih syukur lo udah gue ambilin," tukas Wahyu, menyesap susu cokelatnya sedikit demi sedikit. Ujung bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman ketika menyadari bahwa suasana di antara mereka mulai tidak secanggung beberapa menit lalu. "Bagaimana kabar lo?"

Oke, mungkin ini saat yang tepat bagi Wahyu untuk menghantamkan kepalanya sendiri ke tembok terdekat.

Wahyu memasang senyum bodoh, menyadari bahwa pertanyaannya tadi benar-benar konyol. Nathan mengangkat alisnya dengan gaya yang benar-benar menyebalkan. "Kabar gue baik," jawab Nathan singkat. "Setidaknya, setelah kejadian kamar mandi."

Ah, itu lagi.

"Itu semua cuma sebagian kecil dari kebegoan lo, kan?" kekeh Wahyu pada akhirnya. Dia tidak yakin Nathan serius atau tidak ketika mengatakan 'empat kata' yang menurutnya sangat sakral. Bisa saja itu merupakan bagian dari permaina Nathan, karena Nathan yang Wahyu kenal selama satu setengah tahun terakhir adalah orang yang suka bermain-main dan sangat ingin minta ditampar. "Gak serius kan?"

Hening. Nathan hanya terdiam di tempatnya, meminum susu di gelasnya dengan sangat tenang sambil menatap Wahyu. Matanya yang berwarna pekat terlihat sangat tenang untuk saat ini, tidak ada unsur dingin atau ego yang tinggi seperti biasanya.

Nathan yang terlihat sangat tenang mungkin sanggup membuat Wahyu meleleh jika saja keadaannya tidak seaneh ini.

"Kenapa lo nganggep itu cuma kebegoan gue?" Nathan buka suara pada akhirnya. Tatapan di matanya masih sangat tenang seaka telah menduga bahwa pertanyaan itu sudah tertebak di benaknya. "Gue tau lo lebih pinter daripada gue, tapi gue juga gak sebego yang ada di pikiran lo."

Kemudian Nathan membentuk seringai kecil di bibirnya, terkesan meledek Wahyu. "Kenapa lo gak yakin kalau yang tadi gue bilang itu bener?"

Lidah Wahyu kelu. Dia sebenarnya tahu apa jawabannya, tapi dia juga tidak ingin terkesan untuk tidak memercayai Nathan. Hubungannya dengan Nathan sudah tidak seburuk semester lalu.

"Karena lo itu gak tertebak?" Wahyu menatap Nathan dengan ragu, benar-benar ragu. "Lo bisa menjadi serius maupun main-main tanpa bisa gue duga. Gue bukan temen deket lo, bahkan komunikasi kita baru membaik akhir-akhir ini. Gue gak bisa nebak lo segampang Januar atau Harvin atau Mike nebak lo."

Sebuah tawa singkat lolos dari bibir Nathan. "Entah kenapa gue selalu suka cara lo untuk jujur," dan kemudian Nathan berdiri seakan topik yang mereka bicarakan adalah topik tanpa bobot. "Lo harus jadi pacar gue, Yu." Dan Nathan hanya tersenyum—amat tipis—lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Nathaniel Ivanska memang benar-benar manusia kampret sejati.

(Tapi Wahyu suka.)

.

Personal Taste [BoyxBoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang