Nathan
Memperhatikan seseorang bukanlah sesuatu yang Nathan suka lakukan. Dia malah cenderung mengabaikan orang lain. Tunggu, itu bukan kecenderungan. Nathan bahkan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Dia hidup dengan caranya sendiri. Sendirian di kamar dengan headset di telinga, lagu-lagu metal melantun dengan suara pelan sementara matanya menatap lurus ke depan dengan pikiran mengembara tanpa ia bisa tahan.
Bukan termenung, jelas itu berbeda. Nathan masih sadar apa yang ia pikirkan dan bahkan dia bisa tersadar kapan saja yang ia mau. Lagipula, lagu metal sekelas Deftones tidak akan bisa dijadikan lagu yang tepat untuk merenung. Lagu Ed Sheeran, mungkin. Tapi tidak untuk kali ini.
iPhone Nathan bergetar, membuatnya langsung mengambil benda persegi panjang itu dan mengeceknya. Ada dua pesan baru di WhatsApp, keduanya sama-sama dari Januar. Nathan tersenyum kecut, jelas sekali hanya Januar yang berani untuk mengganggu kegiatannya di jam lima sore seperti ini. Mike sangat menghargai privasinya dan Harvin pasti sedang repot dengan segala acara 'belajar-untuk-masuk-PTN'.
Januar : Lo yakin gak mau nonton pertandingan tim futsal hari ini? (15:12)
Nathan mengernyit, menyadari bahwa pesan itu sudah terkirim dua jam yang lalu. Mengapa ia tidak menyadari ada pesan baru masuk di aplikasi WhatApp miliknya? Mungkinkah tadi jaringan internetnya tidak menyala atau sinyalnya sempat terganggu?
Januar : Sekolah kita gagal ngewakilin prov, dibabat 2-5 sama perwakilan Jakarta Utara. Urusin kapten sebelah kamar lo, dia nge-down (17:25)
Kalah. Tim Wahyu kalah.
Bagi setiap atlet manapun, kekalahan bukanlah sesuatu yang baru. Nathan yakin Wahyu pasti pernah mengalaminya lebih dari yang pernah Nathan bayangkan. Setiap orang yang kalah pasti pernah merasa kecewa, orang bodoh mana yang merasa sangat diberkahi karena kalah.
Tetapi Wahyu meratapi kekalahannya... Nathan tidak bisa memberi satu pun gambaran untuk sosok pemuda yang secara diam-diam ia menangkan di permainan kecil mereka.
Nathan : Jan, Wahyu udah pulang? (17:29)
Tidak butuh waktu lama bagi Januar untuk menjawab Nathan. Nathan beruntung dia memiliki satu sahabat seperti Januar, meski Nathan yakin ia tidak akan tahan jika menjadi Januar yang berteman dengan seseorang sepertinya.
Januar : Dia langsung cabut pas pertandingan selesai. Mungkin sekarang udah sampe di rumah lo. (17:30)
Januar : Hati-hati, dia kagi kacau parah. Jangan bikin dia ancur kalo lo gak mau dipenggal sama komplotan Kusuma (17:32)
.
Wahyu
Hujan hari ini mungkin menjadi salah satu berkah tersendiri bagi warga Jakarta, meski sebenarnya memang sudah memasuki musim penghujan. Wahyu melepas sepatu futsalnya dengan perlahan sebelum menaruhnya di rak sepatu yang berada di balik pintu kamarnya. Secara perlahan dia menutup pintu kamarnya, membiarkannya tidak terkunci. Siapa juga yang mau masuk ke kamarnya secara mengendap-endap layaknya ninja?
Tanpa melepas trench coat yang dipakainya, dia langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur—begitu juga dengan tas olahraganya yang ia buang ke segala arah. Mata Wahyu terpejam, kamarnya terlihat jauh lebih blur pada saat ini tanpa kacamatanya.
Wahyu mengangkat kakinya, memperhatikan noda lumpur di celana jersey tim futsalnya yang masih ia kenakan. Dia hanya mengganti kausnya tadi, membiarkan celananya yang kotor bercampur basah tetap terpasang. Memang sangat tidak nyaman dan dingin, tapi perasaan yang bergerumul di perut Wahyu terasa jauh lebih menganggu dan beku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Taste [BoyxBoy]
Fiksi Remaja[Book 2 of 2] Dua orang yang saling membenci tinggal dalam satu atap? Masih kalah absurd jika orang kalian benci itu adalah teman sekelas kalian sekaligus seseorang yang tengah kalian tantang dalam sebuah permainan berbahaya. "Gue lagi berusaha kera...