Intro

63.5K 3K 177
                                    

Wahyu menarik kopernya dengan malas-malasan di atas jalan aspal yang sangat familiar baginya. Sinar matahari menyinar terik di atas kepalanya sementara tukang es kelapa di seberang jalan menatapnya dengan tatapan yang tak terdefinisi. Perpaduan sempurna, sinar matahari terik dan tukang es kelapa. Wahyu hanya bisa mengerecutkan bibirnya, berharap tukang es itu mau baik hati memberikan sedekah satu batok es kelapa muda padanya.

Tiga hari lagi tahun ajaran baru dimulai, dan Wahyu tidak bisa bilang bahwa ia siap untuk menghadapi kelas 11 dengan lapang dada. Mengingat dia baru saja menghabiskan liburan super dramatis di Inggris bersama teman-temannya secara gratis. Dramatis? Tentu saja. Terlalu banyak drama kegilaan yang terjadi di sana, dan itu merupakan liburan terbaik yang pernah Wahyu rasakan seumur hidupnya.

Tapi memang sampai hatilah Mike itu, hanya mengantar mereka sampai di sekolah saja. Yang lain enak, rumahnya dilalui akses angkot ataupun transportasi umum lainnya. Wahyu?! Mau naik angkot atau tidak, sama-sama saja jalan kalau mau masuk ke dalam gang besar rumahnya. Lagipula jarak rumahnya terlalu dekat jika dia naik angkot.

Sudah jalan jauh, ranselnya berat pula. Wahyu menghela nafas sambil memaksakan kakinya untuk berjalan. Syukurlah jaraknya tinggal lima puluh meter lagi sehingga Wahyu tidak perlu merasakan pegal. Dia bisa langsung masuk ke kamarnya dan hibernasi panjang sampai malam nanti—seingatnya nanti ada tayangan Bundes Liga di salah satu saluran televisi bola.

Dan Wahyu menghela nafas lega ketika sampai di sebuah titik yang amat dikenalnya. Dia langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu mengerutkan keningnya.

Banyak orang di sana-sini, tampaknya repot mengais-ngais barang dari beberapa tumpukan benda yang bahkan Wahyu sendiri sulit untuk mengenalinya. Bapak-bapak dengan baju tercoreng hitam sana-sini hilir-mudik, sempat terlintas di pikiran Wahyu kalau tempat ini berubah menjadi tempat latihan TNI-AD yang baru. Bau-bau debu tercium dari sana-sini, membuat keningnya berkerut karena well, sejak kapan debu bisa tercium di jalan lebar seperti ini?! Yang mengherankannya lagi adalah...

Dia tidak bisa menemukan rumahnya dimana.

"RUMAH GUE MANA WOOY?!!!"

.

.

Wahyu terdiam, menatap wajah ibunya yang tersenyum lemah ke arahnya sementara ayahnya mengusap-ngusap punggungnya. Adik perempuannya menatap kosong ke depan, matanya terlihat sembab dengan ekspresi datar dan Wahyu tidak terlalu suka melihat adiknya seperti ini.

"Jadi...," akhirnya Wahyu memutuskan untuk membuka suaranya—karena keheningan bukanlah sesuatu yang bisa bercampur baik dengan seseorang bernama Wahyu Aksian. "Di saat Mas lagi pergi liburan ke Inggris, rumah kita secara gak terduga kebakaran? Kejatuhan tabung gas dari mana?"

Ibunya menghela nafas. "Mas Yu, ini bukan waktu yang pas untuk bercanda. Ini serius," kata ibunya. Wahyu hanya mendengus kecil lalu menatap ayahnya, meminta penjelasan lebih mendetail. "Rumah kita kebakaran karena korsleting listrik. Kamu harusnya bersyukur kalau semua barang-barang kamu dan Risma berhasil selamat. Baju Ayah sama Ibu tidak semuanya terbawa."

"TV selamat? Laptop? Charger?"

"Aku udah evakuasiin duluan, Mas," Risma—adik perempuan Wahyu—membuka suaranya. Suara gadis cilik itu terdengar parau. "Pokoknya semua barang-barang kita aman. Dokumen-dokumen juga aman. Tapi beberapa barang seperti lemari, piring, baju-baju Ayah dan kertas-kertas ulangan Mas Wahyu gak tertolong."

Kertas-kertas ulangan. Wahyu menahan nafasnya, mencoba tidak bersyukur karena kertas-kertas ulangannya yang beberapa diantaranya ternodai dengan nilai dibawah enam berhasil terbakar menjadi debu. "Dan jangan lupakan, rumah kita juga gak tertolong." Tambah Wahyu, sama sekali tidak berniat untuk sinis ataupun menyindir.

Personal Taste [BoyxBoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang