Wahyu
Om Ezka menatap Wahyu dengan tatapan kebapakan yang berefek dengan Wahyu merinding sendiri, karena tatapan itu mirip sekali dengan cara ayahnya menatapnya. Kacamata yang dikenakannya terlihat mahal, hanya dengan melihatnya saja membuat Wahyu sakit perut. "Aku sudah lama tahu kalau Hamdan punya anak yang seumuran dengan Nathan," kata Om Ezka santai. "Dan juga satu sekolah dengan Nathan. Tapi aku tidak pernah menebak kalau kalian ternyata saling mengenal."
Nathan langsung melempar tatapan dingin ke Wahyu, dan tatapannya itu benar-benar membuat Wahyu dongkol. "Enggak kok, Pa. Aku gak kenal dia." Tukasnya dingin.
"Saya juga tidak mengenalnya, Om." Balas Wahyu dengan ekspresi menyakinkan.
"Oh, gak kenal ya?" Om Ezka menatap bingung Nathan yang berdiri di ambang ruang tamu, menolak untuk bergabung dalam lingkaran kecil antara Om Ezka-Wahyu-Risma. Nathan menyeringai samar, Wahyu ingin sekali menendang bola ke arah wajah menyebalkan itu. "Kirain kenal. Ya sudah, ada baiknya kalian kenalan terlebih dahulu."
Rahang Wahyu mengeras karena kegondokannya, tapi akhirnya dia mencoba mengikuti alur dari pembicaraannya ini. Dia merubah tatapannya menjadi tatapan ramah, meski penuh ketidak-relaan. "Nama saya Wahyu Aksian, salam kenal." Dia mencoba suara seramah mungkin, sungguh.
"Gue udah tau."
"Katanya kamu belum kenal, kok udah tahu namanya?" tampaknya Om Ezka tidak mengerti kalau di hadapannya kini tengah berdiri dua pemuda yang memiliki status 'musuh-sehidup-semati' yang dipegang teguh. "Dan Wahyu, apa kamu juga sudah tahu namanya?"
Wahyu hanya menggeleng-penuh kepura-puraan dan dusta. Tampaknya Risma sedari tadi menahan tawa, karena gadis kecil ini memang tahu kebenarannya kalau mereka berdua saling mengenal.
"Tahu sama kenal itu beda, Pa," gumam Nathan pelan, akhirnya memilih memandang langit-langit rumahnya yang tinggi. "Terus kenapa dua manusia ini datang ke rumah kita? Ganggu aja."
Om Ezka langsung menatap tajam Nathan. "Kamu memalukan menjadi manusia, Nath," desis Om Ezka dan Wahyu tahu kalau maut sudah mulai menguar dari dirinya. Nathan mundur satu langkah dari tempatnya berdiri. "Sahabat Papa—Hamdan—habis mengalami musibah kebakaran, rumah mereka terlalap api. Dan Papa ini masih punya hati untuk membantu sahabat Papa, karena Om Hamdan sendiri juga sering membantu Papa."
Persahabatan Om Ezka dan ayahnya terdengar sangat manis di telinga Wahyu, dan Om Ezka sepertinya benar-benar pria yang baik dan ramah. Tapi kenapa keturunannya benar-benar membuat dongkol Wahyu setengah mati?!
"Nathan, tunjukkan kamar Wahyu di lantai dua. Kamar di sebelah kamarmu itu akan menjadi kamarnya. Tidak pakai membantah dan tidak ada alasan bahwa Papa mengganggu acaramu bermain game." Perintah Om Ezka cepat bahkan sebelum Nathan bisa membuka mulutnya. Wahyu mengerjap ketika ransel di tangannya diambil dan kopernya ditarik oleh tak lain dan tak bukan sang pemilik rumah sendiri.
"Bagus, sekarang gue jadi budak lo," bisik Nathan, memperhatikan Risma yang kini berdiri dari kursinya-siap menuju kamar barunya. Sepertinya kamar Risma akan berada di lantai satu, sehingga Om Ezka-lah yang mengantar. "Baru dua hari lalu ketemu lo, sekarang udah ketemu lagi. Capek gue kalau hidup gue selalu harus ngeliat muka lo itu."
"Kenapa?" tanya Wahyu dengan seringai usil, bangkit dari sofanya dan menyusul Nathan yang mulai menarik kopernya dan membawa ranselnya menjauh dari ruang keluarga. Barang-barangnya yang lain akan diantar besok, Wahyu hanya bisa membawa pakaiannya, buku-buku pelajaran untuk besok dan seragamnya. "Lo iri kalau muka gue cakep? Emang cakep dari sananya, gak usah iri."
Wahyu tidak bisa membayangkan selama setahun penuh harus tinggal dengan manusia yang satu ini-dan sebenarnya dia tidak ingin melakukannya. Apakah dia tidak bisa ngekos saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Taste [BoyxBoy]
Teen Fiction[Book 2 of 2] Dua orang yang saling membenci tinggal dalam satu atap? Masih kalah absurd jika orang kalian benci itu adalah teman sekelas kalian sekaligus seseorang yang tengah kalian tantang dalam sebuah permainan berbahaya. "Gue lagi berusaha kera...