“Lihat, UFO!!”
Seruannya membuatku menengadahkan kepala ke langit dan tahu-tahu saja … sesuatu sudah menyentuh pipi kiriku.
“Modus lama.” Keluhku pada wanita yang sudah menzinahi pipiku bahkan sejak aku masih balita.
Dia terkekeh, memamerkan lesung pipi yang menjadi warisan genetis dari ayahnya, sama seperti halnya kejahilan dan sifat easy going yang tidak menjadi ciri dari saudari kembarnya. Ya, hanya dia yang memiliki segala keistimewaan itu.
Zizi merebahkan punggungnya ke atas rerumputan. Ini kali kedua kami duduk di tempat yang sama. Memandangi bukit granit Sentinel Dome dan pohon Sequoia raksasa yang daunnya berwarna keemasan karena tersepuh cahaya Matahari sore, awal musim gugur California yang sejuk. Angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah membuatku kembali teringat dengan kenangan masa lalu kami di tempat ini.
………
“Kak Zizi suka, Abang Er?” aku menanyakan itu usai melihat ia membersihkan luka Kakak sulungku, Revarion, yang terjatuh saat ikut-ikutan bersama Abi dan teman-temannya mendaki bukit Sentinel.
“Tentu.”
“Kenapa?”
“Karena, Zizi suka Renvy.” Jawaban sederhana itu membuatku terdiam dan berharap mendapat pencerahan yang tidak bisa kupahami semudah mempelajari serta menguraikan rumus rumit Hukum Keplar pada usiaku yang baru lima tahun.
“Renvy, nggak ngerti?”
Senyum cantiknya merekah, terlihat manis, sederhana, namun juga berwarna. Sama seperti nama bunga yang menginspirasi Aunty Vani saat menautkan nama itu untuk putrinya.
“Suatu saat Renvy bakalan tahu sendiri, kok.” Sahutnya penuh keyakinan yang makin tidak aku pahami.
………
“Umur kamu berapa sekarang?” pertanyaan itu mengusik lamunanku.
“Dua satu, kenapa?”
Zizi bergerak bangkit dengan susah payah. Aku membantunya dengan hati-hati, berusaha agar tidak membuat pergelangan kaki kanannya yang di gips terusik dan dia kembali meringis kesakitan.
Satu minggu yang lalu dia terkilir saat sedang berolahraga. Seharusnya dia masih istirahat di rumah, sekarang. Tapi reuni tahunan yang diadakan oleh klub golf tempat orangtua kami bergabung membuatnya tergerak untuk datang.
“Renvy …,” panggilnya.
Kuangkat kepala dan menatap kewajahnya, menatap takjub pada rambut bobnya yang berantakan oleh hembusan angin. “Ya?”
“Ayo kita menikah.”
…….
Bingung. Itulah yang aku rasakan saat Zizi mengatakan itu. Dia membuat seolah-olah, menikah sama mudahnya dengan pergi beli nasi Padang di Kedai nasi Kapau.
Fuuuuhhhh … aku mendengarnya menghela nafas berat kemudian Zizi memasang ekspresi gusar yang makin membuat kerutan pada dahiku semakin menjadi.
“IQ kamu masih, seratus tujuh puluh?” tanyanya. “Bagaimana bisa MIT mengangkat orang tulalit kayak gini, jadi Profesor Tekhnik Nuklir. Padahal kamu selalu enggak nyambung kalo ngomong sama Zizi?”
Aku tertawa. “Zizi suka bercanda, makanya aku sering enggak ngerti mood Zizi larinya ke mana. Zizi lagi serius atau Zizi lagi main-main, aku nggak tahu.”
“Jadi kamu nggak tahu kalo Zizi suka sama kamu?”
Aku melongo. “Eh!!”
“Bingung, kan?” ejeknya sambil mencubit lenganku kesal, aku meringis tapi tak bisa menyembunyikan senyum kebahagiaan dari wajah.
“Sejak kapan?” tanyaku, “Zizi suka aku?
“Sejak kecil.”
“Sungguh?”
Anggukannya memberi kepastian.
“Aku kira Zizi suka, sama Kak Revar …” tuduhku yang membuatku sekali lagi mendapat cubitan di lengan. Aku bahkan tidak dapat meringis karena perasaan yang terlalu bahagia.
“Renvy, enggak sensitif …, Zizi sayang Revar karena dia kakak dari orang yang paling Zizi sayang.”
“Aku.” Kataku penuh kebanggaan.
Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Jadi kapan aku boleh bicara tentang kita sama Daddy-nya, Zizi?”
“Kapanpun Renvy siap.”
“Sekarang?” desakku yang membuat Zinnia memutar matanya dengan gaya malu-malu namun menggemaskan.
“Kalo berani.” Tantangnya yang segera membuatku berdiri dari tanah yang kududuki untuk kemudian membantunya berdiri.
Zinnia terkekeh pelan, “Nanti aja,” pintanya. “Sekarang Zizi masih mau ada di sini … sama Renvy.”
Permintaan manja apa pun dari cinta pertamaku …, tentu aku tidak akan sanggup aku tolak.
………..
“Bi, Om … kami mau menikah.”
Pengakuanku pada dua orang lelaki yang sedang main catur itu lebih menyerupai pengumuman ketimbang permintaan saat melamar anak gadis orang.
Abi-ku tersenyum sambil memindahkan bentengnya dan berhasil membuat bidak Raja putih milik Ayah Zizi terdesak. “Skak Mat” kata Abi santai, “kau sudah kalah, jadi berikan Putrimu untuk anakku.”
“Cih, Rensa … aku hanya mengalah, kau tahu!” elak Om Wega yang tentu saja tak akan dengan mudah mau mengakui kekalahannya. Tatapan pemimpin tertinggi Pattinusa Grup itu kemudian teralih padaku sepenuhnya, memberikan tatapan ramah yang penuh penilaian.
“Hmm … ada banyak syarat tentu saja,” dia menyeringai lebar.
“Akan aku penuhi apapun itu.” Aku memberi penegasan.
Abi dan Om Wega kemudian bertukar pandang sesaat, ada senyum rahasia dan kesepakatan di kedua mata lelaki yang sudah lama masuk usia paruh baya itu. Aku dan Zizi ikut bertukar tatapan cemas melihat kuasa absolut yang terpancar dari aura keduanya.
…………
“Semudah ini.” Desahnya tidak percaya. Aku menuangkan wine ke dalam sepasang gelas anggur yang disediakan oleh hotel seraya tersenyum pada wanita yang kini sudah resmi menjadi Nyonya Renvy Alzier itu.
Ini adalah malam terakhir kami berlibur di lembah yang menjadi bagian dari Yosemite National Park. Hari yang sangat berkesan saat seluruh keluarga serta teman keluarga kami yang berkumpul dalam reuni, ikut merasakan kebahagiaan acara pernikahan dadakan aku dan Zizi.
Dengan langkah tenang aku mendekat ke arah Istriku yang duduk manis di atas ranjang sambil menatapku penuh.
“Zizi bahagia?” tanyaku ingin tahu.
“Sangat.” Senyumnya sudah menjelaskan tanpa dia harus berkata-kata. “Tapi! Renvy enggak nyesel, nikah sama wanita yang lebih tua?”
Aku tersenyum. “Secara umur Zizi memang lebih tua delapan tahun dariku. Tapi secara emosi dan mental, jelas aku lebih matang.”
Seketika aku melihatnya memanyunkan bibir sebagai pembenaran yang sukar dibantah. Aku menaruh gelasku ke nakas dan mengambil paksa gelasnya.
“Zizi masih mau ….” rengeknya manja.
Kugelengkan kepala mantap, “Sekarang waktunya kita melakukan yang lain, sayang.”
“Tidak!” keluhnya sambil menutup wajah dengan bantal.
Uh! Mulai lagi sikap nggak dewasanya. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Mungkin memang aku harus melakukan sesuatu ….
“Lihat!” aku berseru, “UFO!!”
“Hah!” Zizi menurunkan bantal dari wajahnya tanpa menyadari seringaianku yang terkembang lebar. “Mana? U … uuuuhhhhmmmmffff.”
Terlambat. Karena aku sudah membungkam bibir lembutnya yang seksi.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Book (One Shoot)
Short Storykumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya.