Story pertama tahun 2017. Semoga suka :)
Naira :
Ini situasi paling menyebalkan yang pernah terjadi dalam hidupku.
Berada berduaan dalam mobil selama hampir enam jam bersama pria 'menjijikkan' yang sangat aku benci rasanya lebih buruk dari mati. Hanya saja aku tak punya pilihan lain, hanya Darrell yang sudi mengantarku ke Jakarta pada dini hari—saat kabar tentang sakitnya Papa kuterima dari kakak sulungku, Levy.
Dan akibatnya aku jadi sangat lelah. Lelah hati, lelah telinga, lelah mata, lelah di otot-otot sekitar wajah akibat selalu terpasang kaku selama jarak yang membentang dari Kuningan ke Jakarta, tepatnya sejak masuk ke dalam mobil Darrell Carlen Susena.
"Nai," tegurnya. "Kamu nggak laper?"
Aku tetap diam—mengacuhkan—lebih memilih untuk menyusut air mata yang terus menetes dari mataku setiap kali kuingat Papa.
"Nai ..."
"Udah deh Rell," bentakku berang, "Kalo mau makan ya makan aja, gak usah basa-basi." Semprotku ganas.
"Ya elaaa Nai ... aku kan mikirin kamu juga," jawabnya tetap ceria seperti biasa. "Sejak dari Cilimus kamu nggak makan sama sekali kan?" katanya sok jadi cowok baik-baik, penuh perhatian yang kutahu sebenarnya cuma bullshit-an mulut perayunya itu. "Aku tahu pikiran kamu saat ini pasti cuma ke Papa kamu aja, tapi gak guna juga kalo pas sampe malah kamu yang sakit."
See! Liat aja kan. Munafik banget tuh laki. Aku mengatakan itu dalam benakku seraya mendenguskan ejekan tanpa mengatakan apa-apa. Dia pikir ini semua gara-gara siapa. Kalau bukan karena ulahnya, mana mungkin aku memutuskan mengambil jalan yang membuat Papa dan Mama merasa sangat terpukul.
Kudengar Darrell menghela nafas panjang. Sepertinya dia jenuh dan muak dengan kelakuanku kali ini. Atau justru ia tengah memohon kesabaran ekstra pada Tuhan, karena bosan dengan penolakan yang gencar aku lakukan tiap kali kami bertemu dalam proyek kerjasama renovasi Gedung tempat di lakukannya perundingan Linggarjati yang kuterima dari kantor Arsitek tempatku bekerja.
Darrell kebetulan ada di tempat yang sama karena pekerjaannya sebagai kurator museum yang juga ditugaskan untuk melakukan inventarisir ulang terhadap semua benda bersejarah yang ada di gedung tersebut. Sejak awal kerjasama kami dimulai aku langsung menyadari jika dia adalah pria yang sama seperti yang mengirimkan surat ajakan untuk menyepakati perceraian padaku dua bulan yang lalu. Detik yang sama aku langsung memasang tampang dingin dan sikap bermusuhan—hal yang tidak aku lakukan pada rekan kerja kami yang lain—hanya padanya.
Tanpa aba-aba tahu-tahu saja mobil sudah berbelok memasuki halaman sebuah resto siap saji. Aku melongo sesaat sebelum membentaknya dengan kesal. "Darrell apa-apaan sih?" Suaraku meninggi dalam amarah.
"Aku laper Nai, aku mau makan. Kamu mau ikut atau enggak, terserah."
"Rell please, aku butuh cepet sampe ke rumah."
"Dan aku butuh makan."
"Bisa nanti, kan?"
"Kapan? Di rumah kamu? Yakin kamu mau ngasih aku makan? Jangan-jangan begitu kamu sampai di rumah, kamu langsung suruh aku pulang." Dengan tampang tak peduli juga keras kepala ia mulai mengantri di depan jendela layanan drive thru. Mengacuhkan aku sepenuhnya dan bahkan sama sekali tidak menanyai apakah aku ingin memesan makanan juga. Tapi begitu pesanannya tiba ia langsung menaruhnya ke atas pangkuanku.
"Kan udah aku bilang, kalo aku nggak pengen makan," kataku jutek.
"Bukan untuk kamu Nai, itu untuk aku, tapi karena aku nyetir aku gak mungkin dong makan sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Book (One Shoot)
Contokumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya.