“Ayolah Ziz, ayolah … cuma nolongin gitu aja kok.” Reira terus membujukku agar luluh dan mau membantunya menyelinap ke dalam Appai Pareppu.
“Malas,” sahutku datar.
“Elu payah banget sih Ziz, ini kan demi mereka …” mata sipitnya menatapku memohon, kebalikan dari mata itu … sudut-sudut bibirnya justru turun ke bawah membentuk cebikan kesal akan reaksi yang kutampakkan.
“Lagian kamu kayak gak ada kerjaan aja,” gerutuku. “Apa-apaan sih mau ngajak ikut campur urusan malam pertama orang lain.”
“Ya habisnya malam pertama kita kan belum sampe …”
Aku memelototi dengan geram, selalu saja gadis di hadapanku ini suka memelintir arah omongan jadi nggak jelas, menyebalkan. “Apa maksudnya?” geramku berkata.
Bukannya terus diam, reaksi Ira malah sebaliknya ia justru mendekat padaku dan menggesek-gesek lengan kananku dengan lengannya “Ah, Aziiizzz … pura-pura nggak tahu terus ih! Kan, aku padamuuuu ... ayolah Ziz, kumohon.”
“E-eh …” Kelakuannya benar-benar membuatku gelagapan sekaligus merinding. Mampus mungkin lebih baik ketimbang menghadapi cewek super agresif yang satu ini. Tanganku terulur untuk mendorongnya menjauh dariku,
“Nggak!” sahutku setengah membentaknya. Yang benar sajalah, tidak mungkin aku mengijinkannya masuk ke jantung Lamban Balak yang sakral itu untuk membuat kekacauan. Terlebih, kamar itu akan di pakai oleh penerus utama untuk merayakan malam penyatuannya dengan Pangeran Pendamping.
“Alah pelit banget sih lu, ini Rensa yang minta loh,”
“Masa bodo … aww … apaaan siih .” Aku meringis sambil memelototi gadis yang baru saja mencubit pinggangku dengan sekuat tenaga itu.
“Bener nih nggak mau bantuin?” tanyanya sambil menunjukkan jari telunjuk tepat kedepan wajahku.
“Iya!”
“Oke, kalau begitu aku akan sebarin apa yang udah kamu lakuin sama aku beberapa bulan yang lalu di Tanjung Karang ….”
Kalimatnya membuatku tersentak, dan ingatan akan peristiwa yang terjadi di malam yang sama ketika aku mengetahui hubungan Rensa dan Aristha kembali terulang bagai film yang di tayangkan secara spesial khusus untukku. Bibirku berkedut akibat menahan amarah yang datang secara tiba-tiba, “Jangan mengancamku atau coba-coba mencari masalah denganku Ra” tantangku dingin.
Tapi dia tak bergeming, selain memberiku senyum dan tatapan matanya yang dilingkupi nuansa ancaman terselubung. “Oh ya? So, aku harus bilang takuuuuttt, gitu?”
Dengan gaya meremehkan dia membalas kata-kataku. Membuatku menahan nafas dan memejamkan mata dengan gelisah. Kejahilan gadis ini sudah terkenal ke mana-mana, bahkan Rensa sendiri tidak bisa mengatasi kejahilan mantan tunangannya itu saat meminta pembatalan pertunangannya tempo hari.
Sebuah tiket liburan selama satu minggu penuh ke Hongkong dan Macau beserta segala akomodasi dan uang saku menjadi milik Reira setelah dia sukses memainkan peran tunangan teraniaya yang menangis serta puasa tiga hari tiga malam pasca batalnya pertungan mereka. See, nggak kebayang ancaman macam apa yang bakal ia tebar untukku sekarang.
“Udah jangan ngelamun, gue tahu elu masih terkenang-kenang ciuman kita waktu itu,” sindirnya sambil mengerjab-ngerjabkan mata dengan gaya genit yang bagiku terlihat—mengerikan. “Gue punya rekamannya loh,” bisiknya tepat di telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Book (One Shoot)
Contokumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya.