Mualaf

26.7K 1K 20
                                    

“Serius lu?” aku bertanya pada Iqbal ragu. Anggukannya seketika membuatku bersemangat pada tawaran pekerjaan yang dia beri. Sudah jadi rahasia umum jika aku selalu tertarik pada apapun yang menghasilkan uang.

            Sejak tiba di negeri Kincir Angin, biaya hidup yang sangat tinggi membuatku harus pintar-pintar putar otak kalau tidak mau uang saku yang di beri oleh Leiden Excellence Scholarshiphabis di saat akhir masa pendidikan. Bisa mandeg nantinya tesis yang aku kerjakan. Kalau sudah seperti itu ngapain juga jauh-jauh kuliah ke Belanda. “Ini bener, gajinya sebulan seribu Euro, kan?” tanyaku lagi.

            Iqbal mengangguk, “tapi ada dua anak dari keluarga Van Burren yang harus kamu ajar ngaji.”

            “Oh! nggak pa-pa, cuma ngajar ngaji juga.”

            “Apa kamu yakin, Sol?” Iqbal menatapku ragu, “bukan apa-apa sih, tapi sejak kamu tinggal di sini, aku sama sekali belum pernah lihat kamu sholat apalagi ngaji.”

            “Yeee ...” cibirku enteng, “masa’ sholat harus cerita-cerita sama kamu.”

            “Ya, nggak mesti cerita, tapi minimal harusnya aku pernah sekali dua kali lihat. Lah ini, sajadah aja kamu nggak punya.”

            Aku nyengir kuda sambil menatap pada roommateku pada flat sewaan di Leiden. “He ... he ... dapet hidayah, Bro.” Jawaban enteng itu langsung mendapat reaksiberupa geplakan gulungan koran di kepala.

            “Udah, kalau gitu enggak usah ambil. Nanti kamu cuma malu-maluin orang Islam Indonesia aja kalau kamu ngajar ngaji.” Gerutunya sambil berlalu dari ambang pintu kamarku.

            “No! Jangaaaaannn ... pleaseeee ...  aku butuh kerjaan, Bal.”

            “Cari kerjaan yang lain aja.”

            “Gak bisaaa ... Iqbaaalll ..., jadwal kerjaku di kafetaria kampus sudah fulltime.”

            “Tapi kamu enggak bisa ngaji, percuma nanti malah bikin malu sama Herr Hernan kalau jadi guru anak-anaknya.”

            “Kalau gitu ajarin aku, ajarin aku ngaji mulai malam ini.”

            “Gila lu ya, ngaji semalam mana bisa langsung bisa.”

            “Kamu sangsi ama intelegensiku?” tanyaku setengah menggerutu. “Kamu tahukan namaku, Faisol Sangaji?”

“Apa hubungannya namamu sama belajar ngaji?” Iqbal menatapku bingung.

Aku nyengir kuda, “Itu kata Nenekku kepanjangan dari Faisol bisa ngaji. Seenggaknya aku sudah megang doa sama pengharapan Nenekku buat belajar ngaji? Pasti gak ada halangannya kok, Bal.”

Iqbal mendesis frustasi, “Bukan itu masalahnya Sol, aku sangsi ama niat mu yang belajar cuma buat cari uang, kan? Aku enggak yakin kamu bakal langsung bisa.”

            “Pleaseeee ... aku butuh kerjaan Iqbal, aku butuh duit.”

            Sahabatku itu terlihat berpikir sejenak, ekspresi spekulasinya muncul berganti-ganti, kelihatan seperti rasa kasihan sama rasa enggan yang sibuk berdebat di dalam benaknya. Aku memasang puffy eyes ku berharap rasa belas kasihnya bisa setinggi donatur panti asuhan atau pekerja sosial. Saat akhirnya dia mengangguk aku meneriakkan kemenanganku dalam hati.

...........

“Het spijt me dat ik zo laat ben,* kataku pada gadis yang tersenyum lebar saat melihatku muncul di kafe favorit kami. 

My Story Book (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang