“Kalian berdua jangan gila!”sepuluh tahun yang lalu kudengar Abi berseru pada Pak Dalom Aziz dan Ina Dalom Reira di belokan koridor rumah sakit dekat ruang ICU di mana Tamong Dalom Syahrial dirawat dalam kondisinya yang sangat kritis. Aku jarang melihat Abi kaget, dan melihat ekspresinya kali ini aku dapat menebak jika apa yang di minta oleh Paman dan Bibiku itu adalah hal yang sangat mengejutkan. “Revar usianya baru lima belas.”
“Dan ayahku mungkin nggak akan hidup sampai besok!” Pak Dalom balas berseru lantang. Wajahnya merah, campuran amarah, rasa sedih juga putus asa. “Please, Sa … tolong keluarga ini.”
Abi mengurut bagian diantara sepasang alisnya sambil memejamkan mata. Kemudian dia geleng-gelengkan kepala dan menghela nafas panjang. Tampak benar-benar frustasi. “Aristha harus ku kabari, dan aku tidak ingin menjelaskan ini pada Revar, itu tugas kalian …” desisnya sambil menyambar ponsel dari saku pakaian dinas yang ia kenakan. Tatapannya tertuju lurus padaku, membuat Paman dan bibiku tersadar aku ada di belakang mereka.
“Revar …” Ina Dalom mendekatiku dengan gerakan canggung, dia membawaku menepi duduk di kursi panjang yang ada di sepanjang lorong rumah sakit. Kata-katanya kudengar terputus-putus disertai permintaan yang mengejutkan. “Revar … bantulah kami, menikahlah dengan Zira.”
…………
“Bang, Istri Abang bakalan pulang minggu-minggu ini,” Umi mengatakan itu di acara makan malam rutin keluarga kami di mana setiap anak yang sudah tinggal secara mandiri seperti aku, juga Renvy yang kuliah di Nanyang harus pulang. “Apartemen Abang dibersihin ya. Kulkasnya jangan lupa di isi.”
“Iya, nanti istrinya kelaperan jadi nggak punya tenaga, kalo nggak punya tenaga entar tempurnya gak seru.” Komentar Rumaisha sambil melirik jahil padaku.
Mengabaikan adik cewekku itu aku mengangguk patuh pada Umi. “Oke, Mi.” aku menyahuti mantap sambil tersenyum tipis. Perkara kedatangan Istriku ini memang gencar di bahas keluargaku akhir-akhir ini. Rumaisha juga Renvy sibuk menggodaku karena ini. Meskipun aku mencoba untuk nggak memikirkannya tapi tetap saja aku terpengaruh juga oleh rasa antusias dengan rencana menetapnya Zira secara permanen bersamaku.
Azirania Syah Iskandar. Aku menikahinya saat usiaku masih lima belas tahun dalam pernikahan super mendadak yang dilangsungkan tanpa persiapan sama sekali. Waktu itu kami menikah karena Almarhum Tamong Dalomnya Zira ingin melihat cucu sulungnya itu sudah menikah sebelum dia meninggal, terlalu bingung mencari pasangan yang cocok, Tante Reira langsung memintaku duduk di depan suaminya untuk berijab kabul. Ckk … kalau di ingat-ingat itu rasanya … hhh, entahlah … aku bingung untuk mendeskripsikannya.
Hanya saja menikah sejak usia remaja memang memberi efek berbeda. Aku tidak pernah menjalin hubungan dengan gadis manapun karena hati juga pikiranku selalu berada dalam kemantapan seorang pria beristri yang berkomitmen pada ikatan suci antara aku dan Istriku. Dan kini, setelah sepuluh tahun berpisah sudah saatnya bagi kami untuk hidup bersama seperti suami istri normal lainnya.
………
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Book (One Shoot)
Короткий рассказkumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya.