Kejutan

27.1K 1.2K 77
                                    

Halo, saya dataaaang ... hii saya kasih warning ya, jangan baca cerita ini dulu sebelum buka puasa. biar amal ibadahnya lancar car car ... yah, sebenernya saya juga gak mau upload cerita ini lebih dini. tapiiii, karena saya udah janji sama seseorang untuk upload malem ini padahal justru malem ini saya harus ikut suami dinas keluar kota dan baru balik lagi keperadaban menjelang lebaran. so, nggak papa ya kalo saya meresikokan diri upload sekarang aja hi hi ... semoga yg nekad baca beranggapan sama kayak saya, kalo kontennya termasuk dalam golongan yg aman. yah, semoga begitu. tapi kalo enggak saya minta maaf dulu ajalah. dan kembali mengingatkan, JANGAN DI BACA!!

Pagi Hari H:

Reira masuk ke dalam kamarku, di wajahnya terkembangan satu senyum lebar usil yang sangat khas dia. “Gugup?” Reira bertanya.

            Aku mengusap wajahku tanpa bisa menghentikan kegelisahan yang mendadak melanda. “Sedikit.”

            Sepupu angkatku itu menatap penuh simpati, “Apa kau melihat sesuatu yang buruk terjadi?” jemarinya bergerak merapikan kopiah tungkus dari kain tapis yang kukenakan.

            “Tidak.”

            “Lalu apa yang kau cemaskan?”
            Aku terdiam sesaat, merasa ragu untuk menceritakannya. Takut jika apa yang akan kukatakan hanya akan menghasilkan ledakan tawa yang sanggup merubuhkan seluruh tiang penyangga Lamban Agung. Tapi … kurasa aku tidak punya pilihan selain, memintanya melakukan misi rahasia itu untukku. “Ira …,” dan akupun bercerita padanya.

…………….

-Flashback-

 

Satu bulan sebelum hari H:

 

Tangan yang membelai sutra halus pada manekin di etalase itu, aku mengenalinya sebaik mengenali anggota tubuhku sendiri.

Halus sutra yang sejuk membelai indera mengembangkan senyum puas pada wajah jelita yang mematri hatiku sejak pertama kami bertemu.

“Kenapa bukan yang hitam?” seseorang bertanya.

Dan gema suara tawa membuat jantungku menyahuti dengan alunan debar kebahagiaan.

“Itu akan membuatku seperti expert.”Dia—pemilik hatiku—menggerakkan tangannya pada sebuah gaun hitam menerawang yang menempel pada manekin lainnya. “Juga warna merah,” gumamnya kembali. Dan seketika bayangan kamar istimewa, Appai pareppu dengan dominasi padanan merah dan emas memenuhi mataku.

“Aku pilih yang ini,” dia menunjuk sutra merah muda dengan potongan sederhana. Jadi dia telah memutuskan itulah warna untuk malam istimewa kami.

***********

 

Sial. Aku mengumpat dalam hati ketika akhirnya tersadar pada situasi di sekitarku saat  visi itu datang dengan tiba-tiba.

Aku sedang duduk di ruang kendali divisi Intelkam Polri, dengan atasan langsung yang sedang menjelaskan misi rahasia untuk mengungkap jaringan peredaran narkoba yang justru di kendalikan oleh Bandar besar yang saat ini masih mendekam dalam penjara.

            Karena hari pernikahanku sudah dekat, atasan memutuskan aku tidak akan turun lapangan untuk menjalankan misi, tapi sebagai seorang clairvoyant—sangat diharapkan aku bisa memprediksi apa yang akan terjadi—saat teman-temanku bertugas nanti.

My Story Book (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang