Aku berdiri ditepi jalan sambil menatap panorama jajaran perbukitan hijau kebiruan yang terbentang didepan mataku. Belum pernah kutemukan pemandangan elok yang asing seperti ini sebelumnya, membuatku berseru dalam hati, ‘Benarkan ini Indonesia!’.
Kukerjabkan mataku sekali lagi, dan jalanan berkelok-kelok dibawah sana masih tetap melingkar-lingkar bagai ular. Bukit Barisan pagi ini dimataku terlihat begitu rupawan bagai gadis perawan. Seumur hidup, kalau bukan karena dirinya, aku tidak akan pernah melihat keindahan pelosok Sumatera ini.
Nyaris separuh tempat indah dimuka bumi pasti akan kudatangi.
Tapi tidak tempat ini.
Kalau saja aku tidak jatuh cinta setengah mati pada lelaki bersuara emas yang membuat hati ini bergetar ketika tanpa sengaja mendengar tartil Al-Quran yang dilantunkannya di Mushola kantor, bulan Ramadhan empat tahun yang lalu, ini tak akan terjadi.Aryan Regan Nakanadin.
Aku datang, untuk menculikmu.
*****
Ini memang rencana yang agak sedikit kelewatan, tapi aku tak punya cara lain untuk mendapatkan dirinya selain dengan jalan menjadi penculik, setelah semua cara yang kutawarkan padanya untuk ditempuh, ditolak mentah-mentah hanya demi satu hal.
Tunggu Tubang *.
Aku masih mengingat dengan baik saat dia mengatakan kalau kedudukannya sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dikeluarganya membuat dia tak bisa memilih pasangan lain selain menikah dengan gadis yang memiliki kedudukan sebagai Tunggu Tubang, pewaris perempuan dalam sistem adat matrilineal suku Semende.
"Demi Tuhan!" seruku waktu itu "ini sudah abad 21, Aryan."
"Tapi itulah kenyataannya" dia menjawab sambil tersenyum kalem, seakan-akan keterkejutanku itu sama sekali tidak menjadi masalah baginya, bahkan aku yakin kalau dia terlihat menikmati ekspresi terkejutku itu.
"Lalu, apa kau akan pulang kekampung halamanmu kalau sudah waktunya bagimu untuk menikah?"
Sekali lagi kulihat dia mengangguk perlahan "Tentu saja aku akan pulang."
"Kau gila! apa kau tidak sayang dengan karirmu?"
"Aku lebih sayang pada orangtuaku, Kia" jawabannya segera membungkam kata-kataku selanjutnya.
Itulah dia, lelaki paling tidak egois yang menganggap hal-hal buruk sekalipun tidak masalah untuk dijalani asalkan itu demi orang-orang yang dicintai.
Alih-alih aku menganggapnya sebagai lelaki yang tidak berpendirian atau anak mami, aku malah menganggapnya sebagai anak berbakti, pria baik-baik yang layak untuk diperjuangkan.
Itulah alasan aku berada disini.
Ditempat asing ini, bersama orang-orang kepercayaanku, dengan niat terburuk sedunia, datang untuk menculiknya.
*****
"Kampung ini yang namanya Pulau Panggung, bos!" Kurik, salah satu pengawal andalanku mengatakan itu sambil menoleh kearahku yang duduk dibangku belakang mobil yang kami sewa dari Palembang.
Mobil menyusuri jalanan kampung dengan kecepatan rendah, melintas diatas tumpukan kopi yang sengaja dijemur dipinggir-pinggir jalan. Melihat itu aku jadi ingat pada ceritanya kalau orangtuanya adalah petani kopi nomor satu di Pulau Panggung.
Dia mencintai kopi dan selalu menganggap kalau kopi asli Semende adalah salah satu kopi terenak di Indonesia, dan kurasa dia memang benar. Aku pernah mencoba kopi Semende dan rasanya memang berbeda dari kopi lainnya, ada sensasi rasa yang begitu lembut dan halus saat cairan hitam itu kusesap, dan setelahnya, setiap kali aku minum kopi di Starbuck ataupun Coffe shop lainnya aku jadi selalu teringat pada kopi semende dan Aryan.
Kualihkan lamunanku dengan meneliti rumah-rumah panggung tradisional itu satu persatu. Pulau Panggung adalah dusun yang relatif ramai dibanding dengan dusun-dusun lainnya, itu karena pasar kecamatan Ulu Darat Laut berada disana, juga beberapa pusat layanan pemerintahan lainnya.
"Kalian turun dan cari tahu yang mana rumah Haji Asrof Nakanadin" perintahku pada salah satu dari keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Book (One Shoot)
Nouvelleskumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya.