THIRD: Planning

107 6 1
                                    

Suasana seperti ini yang selalu aku benci saat bersama dia, suasana jika dia memposisikan dirinya terlalu dekat denganku, aku tak sadar kapan semua ini aku mulai, tapi yang pasti aku terlalu sering menaruh harapan padanya, aku terlalu sering simpati padanya, kelihatannya aku memang sangat membecinya namun aku juga tak bisa mengelak saat dia memohon dan itu membuat aku lemah bahkan mati rasa, aku menyayanginya.

Aku menoleh kearahnya, dia sibuk dengan rokoknya sambil bersandar dan terus melihat keatas. Aku hanya terdiam dan mencari lagi jantungku yang tadi sempat copot karena kata-kata tunangan itu. Bagaimana ini? Sekarang aku mulai tak karuan, dan dia tetap tenang, aku masih tidak yakin kalau otaknya masih ada diposisinya.

"Eh Tam kalo kita pura-pura lucu juga ya." Dia mulai memikirkan hal bodoh rupanya, sialan.

"Jangan banyak omong aku muak."

"Kalo kita pura-pura pacaran kan gak masalah." Dia mematikan rokoknya dan mendekatkan mukanya kearahku, muka penuh dosa itu sekarang tepat berada dihadapanku.

"Rencanamu sangat menarik, bung. Punya otak gak sih kamu tau kan aku gak jago bohong." Aku mulai menaikan nada bicaraku dan menyingkirkan muka sialannya itu.

"Aku serius, kalo kita pura-pura pacaran kan gak masalah, ya setidaknya aku bisa bebas kalo kemana-mana secara kan ibu kita pingin kita tunangan."

"Enggak, pacaran aja sama tembok, minggir aku capek."
Aku mendorongnya, dan meninggalkannya menuju kamarku, hari ini benar-benar melelahkan.

"Ya udah aku pulang, cewek gila." Dia berteriak dari ruang tamu dan aku tetap berjalan ke arah kamar. "Bu De aku pulang dulu salam buat Pak De." Dia benar-benar meninggalkan ruang tamuku, suara motornya yang khas terdengar sangat jelas, aku berlari menuju kearah jendela kamarku, aku melihat dia sudah keluar dari rumahku. Rasanya semua sangat aneh.

kita pura-pura pacaran aja. Kata-kata itu selalu terngiang membuatku tak fokus, aku sangat sakit saat mendengar kan itu, rupanya dia tak serius. Aku terlalu memikirkan hal-hal yang baik untuknya sampai aku lupa memikirkan apa yang baik untuk diriku sendiri. Dari kecil kami selalu bersama, dulu dia sangat baik bahkan dia tak pernah mengenal apa itu dunia malam, tapi sekarang semuanya berubah, sejak dia duduk dibangku SMA, rokok itu temannya, dunia malam itu hiduppnya, dan wanita itu hobinya, dan aku benci perasaanku padanya.

Kenapa harus berpura-pura? Aku terlalu sakit mendengar kata-katanya tadi, aku tak pernah mau ceritakan hal ini pada siapapun karena aku takut dia tak nyaman, aku sudah cukup merasa senang karena setiap ada masalah dia selalu berpulang padaku, aku tak masalah akan hal itu, mungkin karena aku terlalu takut kehilangan dia, aku tau semua perempuan yang pernah singgah dihatinya, dan aku tau dia tak pernah serius pada siapapun kecuali Rina mantannya waktu SMP, tapi sayang Rina meninggalkannya dan karena itu dia mulai menjadi, ya katakanlah playboy.

Oh Tuhan aku tidak sadar darimana datangnya air dipipiku ini? Tami jangan menangis, batinku mulai menyobek segalanya, batinku sangat kencang menarik semua anak panah dan menusukannya. Aku terluka.

Tam aku serius tentang yang tadi, kalo setuju besok aku tunggu di kantin belakang.

Sebuah pesan singkat muncul di layar handphoneku, rupanya dia tidak bergurau, bagaimana mungkin aku bisa menjalani hubungan yang pura-pura, aku tau dia ingin membuat ibunya dan ibuku senang tapi kenapa dia tak juga mengerti, aku terlalu sering sakit hati, tapi aku juga tak bisa bicara apapun, aku tak berdaya. Saat ini aku yang lemah.

Sepertinya aku harus melakukan sesuatu untuk yang satu ini, aku juga tak ingin melihat ibukku dan Bu De merasa kecewa karena aku yakin mereka sudah berharap terlalu banyak, karena mereka kira aku dan Panji memang punya hubungan istimewa, tapi pemikiran mereka jauh berbeda, mereka salah.

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang