11: Harusnya Aku Tau

87 6 0
                                    

Aku benar-benar tak bisa melanjutkan apa yang sebenarnya, aku terdiam, mendadak badanku terasa panas dingin tak karuan, aku menyentuh lengannya, benar-benar dingin. Dia merebahkan badannya diatas kasur malasnya, aku masih diam, mendadak mataku mulai tak tahan dengan pemandangan ini, aku ingin menggertak tapi aku tak tahu apa ini. Jika kalian tau kalian hanya mengganggap ini hal biasa, tapi aku sangat anti hal ini. Tuhan, meski sejauh apapun aku pergi dan menghindar, sejauh itu juga aku akan dekat.

"Nji, kenapa lenganmu?" Aku menyentuh lengannya perlahan, karena aku tau itu sangat sakit. Dia tetap tak menjawab, dan menatapku saja tidak, dia terus menatap keatas langit-langit kamarnya, tatapan yang kosong. "Aku gak pernah ngelarang kamu buat apapun, tapi tolong jangan seperti..."

"Seperti berandalan, brengsek atau? oh iya! aku tau kamu sangat anti dengan cowok bertato." Itulah jawabannya dan dia mengatakan dengan wajah jahatnya.

"Iya, Panji.." Aku menjawab sangat pelan. Aku tak tahan, kenapa dia harus merusak tubuhnya dengan hal sialan itu, apa kata bapak, kalau sampai tau hal ini, dan bagaimana perasaan Buk De dan kak Tomi, dimana otak Panji, kenapa dia melalukan ini. Mendadak suasana kamar Panji sangat hening, air dipelukku sudah tak bisa kutahan, benar saja air membanjiri pipiku. "Kita udah lama kenal, setidaknya kamu ngerti.."

"Aku selalu ngerti, tapi apa? Kamu lebih bela pacarmu kan ketimbang saudaramu? Sekarang siapa yang gak ngerti?" Panji membentak dengan nada sangat kecil tapi wajahnya sangat mengeram, aku lihat rahangnya sangat kuat, aku mulai tertunduk, aku tak tahu apa salahku, apa karena aku dia melalukan ini dilengannya?

"Coba jawab! aku mau tau seberapa hebat kamu bisa membelanya." Panji terbangun dan mendekati posisi dudukku, aku tak berani menatap wajahnya.

"Aku gak bela siapapun, masalah yang tadi siang, aku gak ada bela siapapun Nji." Aku menjawab sebisaku, Panji tertawa kecil dan mencengkram erat lenganku. "Lepasin." Aku melepas kasar tangannya.

"Omong kosong." Dia membalikkan tubuhnya. Aku terdiam, tak tahu harus membela dengan cara apa, dan mencoba berpikir untuk mengalihkan semuanya. Panji hanya terdiam memunggungiku. Tuhan apa salahku, kenapa dia? Kenapa sangat sulit mengerti dia?

"Tunggu, aku ambil alkhol dan kapas dulu." Aku beranjak dari kasur Panji, mengalihkan semuanya, aku harap ini berhasil.

"Gak usah, ini gak sakit." Dia membalik dengan wajah menyebalkannya. Dan selalu menaikan nada bicaranya.

Aku hanya berbalik dan memberi kode untuk diam, tanpa mempedulikan apa yang dia katakan. Aku membuka pintu kamar Panji, dan berharap orang dirumah ini tidak menanyakan apapun, ya apapun itu, karena aku yakin mereka tak tau soal ini. Aku berjalan menuju kotak obat di dekat ruang makan, ini memang seperti rumah sendiri. Sial Buk De.

"Eh Tam ngapain ambil itu?"

"Eh Buk De, ini aku mau bersihin cat air Panji di lantai, tadi gak sengaja tumpah." Baik Tami rupanya kau punya hobi baru, hobi berbohong.

Buk De hanya tersenyum menggeleng merasa heran dengan kelakuan ku dan Panji, untung hari ini dia sedikit bicara, aku mengelus dadaku, lega. Berjalan kearah kamar Panji, aku menghidupkan lampu putih yang awalnya kuning menerawang. Dia masih memunggungiku, dia tetap diam tanpa satu kata pun.

"Sini lihat, cepetan." Aku menarik lengan kirinya, rasanya aku ingin memotong lengan itu, perlahan aku mengeluarkan alkhol ke kapas, rasanya aku sangat terpukul dengan tingkah Panji yang satu ini. Aku mengusapkan perlahan, aku lihat wajah Panji yang menahan sakit dan perih. "Apa ini sakit? Kenapa harus kaya gini?" Aku menangis sambil mengusapkan kapas berisi alkohol ke lengannya.

"Udah jangan nangis, cengeng banget, gak seru Tam." Dia mengusap air mataku, yang terus saja tak bisa aku tahan. "Nanti aku tambahin tatto namamu disini." Dia menunjuk dibagain bawah lengannya, dengan wajah yang sedikit lebih baik.

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang