7| Ini Melelahkan

92 7 4
                                    

Pagi ini hujan membasahi Denpasar, yah belum lagi banjir yang akan datang. Hujan sesuatu yang membuatku selalu ingat akan semua hal tentangmu, sesuatu yang membuatku ingin mendekatkan tubuhku kedalam rangkulanmu, kau sangat jauh saudaraku.

Aku berjalan menuju teras rumahku, hari ini benar-benar dingin, seperti biasa kalau hujan aku rajin sekali membuat teh hangat, dan aku sangat menikmati itu. Hari ini floristku libur sejenak, yah aku pikir Kima juga butuh istirahat begitu juga dengan aku, dan kebetulan kuliah hari ini ada di jam sore, jadi aku punya banyak waktu.

"Tami, ponselmu terus saja berbunyi coba kamu cek Tam " teriakan ibu terdengar dari arah ruang kerja bapak, pagi-pagi begini selalu saja, apa Kima tidak melihat pesan lineku? sampai-sampai dia harus menelpon. Aku berjalan menuju ponselku di ruang tamu.

Sialan, ada apa lagi ini, sabar Tami jangan seperti ini.

"Halo Tam, Panji sangat kacau sekarang, dia memukul tembok kamarnya sedari tadi, Buk De gak bisa masuk ke dalam kamarnya, dia menguncinya, Tami, Buk De harus gimana? Ya tuhan, Tami tolonglah." Diujung sana seorang ibu menangis sangat pecah, dan diujung sini ada seorang perempuan gila yang selalu berkorban untuknya. Panji ada apa denganmu, aku merasa dilempar sangat keras, ada pukulan didalam batinku.

"Buk De tenang dulu, jangan menangis aku akan kerumah Buk De, tunggu aku." Untuk kali ini aku mengingkari janji lagi, janji untuk tidak mengurusinya lagi, ada sesuatu yang menarikku dan mengikatku, dirimu Panji.

"Tolong Tami cuma kamu yang bisa nenangin dan bujuk dia, Buk De gak tau mesti gimana." Sekali lagi dia menagis sangat pecah.

"Baik aku akan sampai secepatnya." Aku langsung mematikan sambungan ponselku, aku tak punya pilihan lain, aku takut kehilangan dia, tuhan aku takut setengah mati.
Sebenarnya dia kenapa?

Aku berjalan mengambil jaket dan tas kecilku, sambil menuju kamar Bapak untuk pamitan, aku sudah siap, walaupun diluar sana hujan tetap mengamuk.

"Bapak Tami kerumah Panji dulu, nanti Tami kabarin Bapak ya." Aku memeluk bapak dengan sangat erat, hanya dengan memeluknya sudah membuatku merasa yakin dengan langkahku.

"Bapak, berdoa untuk Panji, katakan pada Panji, kalau Bapak menunggunya, salam untuk dia." Bapak membelai rambutku, aku harap ini keberuntunganku. " Hati-hati Tami."

pukul 08:12

Sekarang hujan bertambah deras jalan sangat macet, aku berusaha mencari jalan tikus untuk sampai tepat waktu di rumah Panji, aku terus berdoa agar tak terjadi hal buruk, aku sangat tau kalau Panji sering melakukan hal-hal diluar akal sehat. Dia sangat memberontak.

Aku sudah sampai di rumah Panji, aku sangat kedinginan, karena jas hujan bodoh itu tidak mempan. Dari dalam Buk De sudah berlari menghampiriku, suasana rumahnya benar-benar sepi hanya ada Buk De dan Panji, dan ramainya suara hujan.

"Tami cepat kamu bujuk dia, dia ada dikamarnya coba tanya ada apa sebenarnya." Buk De menggenggam tanganku, dan mengarahkan aku ke kamar Panji.

"Tenang Buk De, tinggalkan kami dulu, jagan khawatir." Aku memeluk Buk De penuh yakin.

Aku berjalan kedepan kamar Panji, benar saja sesekali dia berteriak sangat marah entah apa yang sebenarnya terjadi, Panji jangan pergi, dulu. Aku mulai mengetuk dan memenaggil namanya.

"Panji, ini aku Tami, buka pintunya." Aku mengetuk pelan penuh harapan. "Kita bisa bicara dulu Nji, biarkan aku masuk, dan buka pintu ini." Dia tidak juga menjawab, sekarang benar-benar hening yang tersisa hanya suara hujan.

Pintu kamarnya terbuka, dia membukanya, aku melihat dia disudut kasurnya dengan rambut kacau, cat air dan kanvas memenuhi kamarnya, apa yang dia kerjakan?

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang