Second: Thanks

147 10 0
                                    

Dia Panji, terkadang aku lupa bagaimana kami bisa dikatakan sepupu, kadang aku juga lupa kalau aku memang benar-benar ada untuknya, rasanya semuanya memang harus dilupakan.

Waktu kecil dia seperti perempuan, dia lemah, aku jujur akan itu. Bisa dikatan aku yang laki-laki dan dia yang perempuan. Mungkin itu alasannya dia selalu ingin satu sekolah dengan ku, karena dia tau cuma aku yang bisa menjadi tamengnya. Masa suram.

pukul 18:34

"Oke kita sampai, makasih ya."
Aku melepas helm yang dia berikan, sambil merapikan rambut dan tas gendongku aku berjalan membuka gerbang rumahku.

"Tunggu Tam, aku ikut masuk."

"Eh Nji ibumu disini?" Aku menoleh kearahnya sambil menunjuk mobil jazz putih yang terparkir dihalaman depan rumahku.

"Iya"

Aku masuk kedalam rumah dan benar saja Bu De, ibu Panji, ada di dalam bersama ibuku, tak seperti biasanya, padahal minggu kemarin baru saja dia kesini. Bu De tersenyum ke arahku, memberi kode sapaan padaku, aku membalas senyumannya.

"Tam, sini duduk. Eh Panji dimana? kamu pulang bareng dia kan?" Ibu menarik tanganku dan memberi aku tempat disebelahnya.

"Iya Bu, tadi Panji ke toko. Oh iya Bu De tumben tiba-tiba kesini, memang mau arisan lagi ya?"

"Iya nih Tam, Bu De ada keperluan sama kalian."

Suara langkah kaki yang cepat terdengar dari arah pintu depan, benar saja itu Panji, rambutnya dan dandannya semuanya serba apa adanya, dia memang sederhana tapi benar-benar membuat jengkel. Dia langsung duduk disebelah ibunya.

"Tam aku mau makan, buatin ya"
Dasar! Harusnya dia gak kesini, semakin besar dia semakin kurang ajar, Ibunya mencubit pahanya, dengan kesal karena sifatnya yang tidak sopan.

"Enggak."

"Oh iya Tam jadi Bu De kesini mau kasi tau kamu kalau Bu De dan ibumu sudah merencakan semuanya."

"Rencana apa ya Bu De?"

"Kamu mau kan tunangan sama Panji?"

Aku terdiam sejanak dunia rasanya berhenti, jantungku berdetak mulai tak karuan, rasanya otakku mulai panas, mulutku menganga, rasanya... Aku mati rasa. Bagaimana mungkin? Batinku hanya terdiam tak mau berkomentar dan bersembunyi dibalik dinding tebal.

"Mah, bercanda kan? Tenang aja Tam ini cuma lelucon mending kamu buatin aku makanan aja." Panji mulai bersuara memecah kebingunganku.

"Panji ini serius tapi tergantung kalian saja." Ibuku mulai memperjelas semuanya.

Aku dan Panji hanya terdiam tak ada yang menjawab, laki-laki yang selalu merepotkan dan membuatku terkena banyak beban sekarang akan menjadi tunanganku? Bagaimana bisa? Jantungku mulai tak karuan lagi, sesekali aku melihat Panji yang duduk manis tanpa beban di kursinya, tidak seperti aku yang gelisah Panji justru sangat tenang.

"Mah, aku sih gak masalah."

"Seriusan kamu? Ya sudah kalian bisa memikirkannya dulu." Bu De menggenggam tanganku dan tersenyum membujuk.

"Ya kalau Tami sih gampang. Ya kan Tam." Ibu menjawab sangat enteng, sambil menoleh ke arahku, aku masih tetap mematung tanpa berucap apapun.

" Ya sudah, Mbak Warti saya pamit dulu ya, sampai ketemu besok di resepsinya Tika." Bu De pamit pulang dan menuju pintu depan, dan aku masih duduk diposisiku dan tak bereaksi apapun.

Ibu mengantar Bu De keluar, dan Panji masih duduk di kursinya sambil memainkan handphonenya.

"Panji Bu De tinggal masak dulu ya ke belakang, kamu disini aja dulu ya." Ibu meninggalkan kami berdua.

Panji mulai mengubah posisi duduknya mendekati aku, yang hanya terdiam sedari tadi, dia memperlihatkan senyuman puasnya yang licik. Sialan.

"Tam, mukamu lucu banget, tenang aja lagi aku punya rencana." Dia membujukku, sambil menghidupkan satu batang rokoknya yang sedari tadi belum dihidupkan.

"Mending kamu pulang, aku capek"

"Eh entar dulu, kenapa sih takut banget?"

"Asal kamu tau ya. Aku capek."

"Eh dengerin dulu." Dia menarik tanganku dan memaksa aku untuk tetap duduk disebelahnya.

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang