12| Aku Memilih Jalanku

127 7 3
                                    

"Bim, kita perlu ngomong, aku tunggu di toko jam 9 besok. Selamat malam."

"Tam kenapa singkat banget? Ada yang salah?"

Tentu Bima, semuanya telah salah. Aku menutup telponku tanpa membalas pertanyaan Bima, aku sudah tak peduli lagi, dia akan datang atau tidak, itu bukan urusanku. Tapi kepastian dan penjelasan dari apa yang telah terjadi tentu urusanku. Aku mulai malas dan menghela dengan sangat berat seluruh nafasku. Aku merebahkan tubuhku yang penuh beban, rasanya duniaku mulai tak sejalan dengan harapanku. Aku seringkali bertanya; Panji, kenapa banyak sekali penderitaan setelah aku menaruh hati padamu? Aku bahkan tak pernah membayangkan kenyataan sekonyol ini akan menabrak hidupku. Aku melepaskan tasku, sepatuku, dan aku harap aku bisa tidur malam ini. Entah apa yang akan terjadi besok, itu rahasia. Sebuah pesan singkat mampir di ponselku.

Tam bisa tidur kan?

Terimakasih Panji ini mungkin membuatku sedikit lebih tenang, meski jauh dari apapun aku yakin kita tak akan bisa baik-baik saja seperti dulu, setelah kejadian ini, karena kau pembohong. Bahkan, sekarang kau biarkan Bima menjadi bagian dari hidupku, terimakasih untuk drama yang tak berujung ini.

Santai aja, selamat malam.

Aku membalas pesan Panji, mungkin ini terlihat berlebihan namun jauh dari apa yang kalian baca, aku benar terpukul, jauh dari apa yang kalian tau, aku benar kecewa, dan benar kata Panji, aku memang wanita bodoh. Tuhan, ijinkan aku untuk tidur senyenyak mungkin malam ini, meskipun besok pagi aku harus bangun dengan kenyataan gila.

pukul 7:55

"Bu, Tami berangkat ke toko ya Bu, mungkin Tami pulang sore karena hari ini ada kuliah, bye Bu." Aku mencium ibu dan meminum satu teguk teh hangat yang disiapkan ibu sejak tadi, aku melirik kearah ibu yang sedari tadi memandangiku. "Kenapa bu? Ada yang salah ya?" Aku memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah, aku curiga jika aku terbalik memakai baju.

"Enggak Tam, kemarin kamu datang ke rumah Panji? Terus dia gimana?" Ibu mengambil posisi duduk di kursi dekat dapur, aku mengikuti dan duduk disebelah ibu.

"Oh iya Panji ya Bu? dia baik Bu,.kenapa? Apa dia menelpon ibu?" Tentu Bu, Panji sangat baik, sampai saking baiknya dia menatto dan membohongi saudaranya, dan ibu tak tau soal itu, aku hanya tersenyum memaksa kearah ibu, berharap ibu menerima semua jawabanku.

"Untunglah, kamu harus ajak Panji kesini ya nanti sore, ibu akan buat sesuatu."

"Hah? Ajak Panji ya Bu? Nanti sore? Gimana kalau besok? Lusa? Atau.."

"Tam, kamu ini gimana sih? Ibu kan minta sekarang kenapa nawarin banyak waktu?" Ibu memotong pembicaraanku, dengan muka yang mulai kesal karena semua pertanyaan yang aku berikan. Dan dia mulai memotong sayur dengan sangat cepat dan mengguman tak bersuara.

"Oke Bu, bye sampai nanti"
Ibu tersenyum puas merasakan kemenangan berpihak padanya, jangan harap aku akan bawa Panji nanti sore, melihatnya saja aku sudah ingin mati, apalagi mengajaknya datang kerumah.

Aku tak pernah berpikir semua ini akan terjadi begitu dramatis, keinginan ibu dan bapak tentang Panji, tunggu.....itu obsesi. Kedekatanku dengan Bima, sampai yah kami jadi kekasih. Rina mantan Panji, sekaligus masa lalu Bima. Intan pacar Panji, yah wanita berok ketat di pentas tari ujian S2. Panji saudara teristimewa yang namanya telah menempati hatiku bertahun-tahun. Dan kini kenyataan tentang sebuah penghianatan, entah penghianatan oleh siapa, akupun tak tau. Namun, hari ini aku akan memilih jalanku.

"Hai Kak Tam, apa kabar? Aku kira kak Tam sakit, habis aku telpon kakak gak respon." Sapaan hangat Kima cukup membuatku lebih tenang, dan melemparkan senyuman yang bersahabat meski jauh dari itu aku benar-benar kecewa dengan hidupku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 29, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang