FOURTH : Panji

104 9 4
                                    

Aku sampai dikelasku sebelum Bu Dayu datang, aku mengeluarkan binder pink dan pulpen, meskipun aku tau matakku belum juga membaik, aku tetap mengatur nafas dan emosiku, aku harus tutupi semua ini, harussss.

"Tam kamu bertengkar ya sama Panji?" Sialan Bima menanyakan kejadian tadi, tidakkkkkk.

"Oh enggak biasalah namanya juga saudara bertengkar dikit wajarlah Bim."

"Yaelah Tam aku kira dia pacar mu? Hahaha " Bima tertawa meledek.

Aku pacar Panji kok, pacar pura-puranya, aaa rasanya aku ingin menari tarian bali ditengah konser rock. Setan.

"O-oh eng-ngak kok Bim pikiranmu terlalu jauh, eh entar malem gak ikut ya, lupa kalo harus ke toko."

"Ya elah, okedeh gak apa Tam"

Tak lama Bu Dayu datang, hari ini mata kuliah tentang dasar-dasar tari, sedikit membosankan karena aku lebih suka penciptaan dan praktek, tapi tak masalah.

"Selamat pagi, hari ini saya akan menjelaskan dasar-dasar tari menurut ahli seni tari, jadi......" blablabla melelahkan.

Satu jam berlalu, semua mahasiswa/i di dalam ruangan ini rupanya sudah mulai bosan, tak lama kemudian Bu Dayu mengakhiri mata kuliah hari ini, yes. Semuanya sekarang mulai merapikan buku-buku dan bergegas keluar kelas, dan orang bodoh yang dijadikan pacar pura-pura sekarang masih mematung dalam posisinya. Aku mulai memikirkan itu lagi. Rasanya ini seperti ancaman bom. Aku melirik ponselku yang ada panggilan masuk, kenapa dia menelpon lagi, aku tak mau menggangkat tapi batinku berkata lain, baiklah aku kalah.

"kenapa lagi?" Tanyaku singkat tanpa kata hallo.

"sante Tam, aku tunggu di parkiran, cepetan"

"Hmm"

Aku matikan sambungan telpon basa-basi yang memang basi. Aku muak menghadapinya, kalau saja dia bukan saudaraku, dan kalau saja aku bukan pacar pura-puranya, kalau saja aku tidak mencintainya.

Aku berjalan sedikit berlari ke arah parkiran gedung belakang, aku tak mengerti setiap kali mau bertemu dengannya entah kenapa ada sedikit rasa, ya katakanlah senang, ah sudahlah, aku terlihat begitu mencintainya, dasar bodoh.

Baiklah itu dia rambutnya sudah menjadi radarku, aku enggan memanggilnya, tapi dia sudah terlanjur berbalik kearahku, semoga saja detak jantungku stabil, baik-baik jangan sok manis Tami.

"Lama banget, nebeng ya Tam" dia menyingir seperti kuda, ih jangan dekat-dekat nanti aku bisa meleleh disini, dan jangan mainkan rambutmu aku tak bisa berkedip untuk itu.

"Enggak pulang sendiri sana, aku harus ke toko sekarang." Aku menolak dengan cepat

"Aku ikut, aku gak ada motor, pelit banget."

"Asal kamu tau ya hari ini kamu udh ngerepotin..."

"Yuk naik, aku yang bawa, cepetan." Dengan cuek dia duduk diatas motorku dan sudah siap memakai helmnya.

"oke oke ini yang terakhir besok, atau..."

"Udah cepetan siniin kuncinya."
Dia memakaikan helm ku, sialan jangan lakukan hal ini, aku jadi gila sendiri. Aku sebenarnya senang, tapi... Sudahlah sekarang aku sudah duduk diatas motorku, dia menghidupkan mesinnya.

pukul 11:57

"Tam.."

"Apa?"

"Entar malen bantuin ya, aku mau pinjem mobil ibuku."

"Ya udah sih tinggal pinjem aja repot banget."

Sekarang lampu sudah menyala hijau, kendara mulai beroprasi lagi. Dia diam untuk beberapa menit.

TO PANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang