Part 20

6K 669 93
                                    

Aretha masih berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Hari ini ia terlambat karena semalam Reno begadang menonton pertandingan bola sampai dini hari yang kemudian berakibat keduanya harus mengebut di jalanan untuk mengejar waktu. Untung saja sekolah mereka memberi toleransi keterlambatan selama lima menit. Lebih dari itu, mereka akan dihukum sampai habisnya jam pelajaran pertama.

Di tengah napasnya yang memburu, jantung Aretha berdegup kencang karena saat ia sampai di depan kelas, pintu kelasnya sudah tertutup rapat. Bahkan saat ia mengetuk pintu di hadapannya sebanyak tiga kali, gadis itu tak mendengar suara apa pun dari dalam.

"Mampus gue bakal dihukum nih," gerutunya kemudian menggigit bagian bawah bibirnya.

Setelah ritme napasnya berubah normal, perlahan-lahan dibukanya pintu yang tertutup itu. Kepalanya menunduk dalam-dalam. "Ma—"

"Wooo sialan lo, Tha."

"Haduh anjir si Aretha. Gue kirain siapa."

"Astaga hampir jantungan gue."

Di muka kelas, Aretha hanya mengerjap-ngerjap pelan melihat keadaan kelas yang tiba-tiba gaduh. Menyadari tatapan masam dan tegang dari teman-temannya, Aretha hanya terkekeh salah tingkah seraya menutup kembali pintu kelasnya.

Pelan-pelan ia berjalan menuju bangkunya sembari membungkuk berulang kali. "Sorry ya gue enggak tau kalo jamkos," kekehnya.

"Telat, Tha?"

Aretha menoleh pada Gerry yang sedang duduk di lantai, tepat di tengah-tengah lorong antara bangku. Gadis itu mengangguk pelan. "Bu Is ke mana?" tanya Aretha. Selamatlah ia hari ini dari ocehan guru Bahasa Indonesianya yang sangat sensitif dengan ketidak disiplinan murid-muridnya.

Gerry menggeleng. "Tadi guru BK bilang, Bu Is hari ini lagi berhalangan hadir," jawab Gerry sembari menepuk-nepuk sisi di sebelahnya yang kosong. "Duduk sini."

Aretha tersenyum tipis. Dilangkahkan kakinya mendekat ke arah Gerry. Dua hari lalu baik, kemarin dingin terus baik, sekarang baik lagi. Pusing gue berasa naik roller coaster, batin Aretha seraya duduk di samping Gerry yang sedang bersandar pada dinding.

"Aruna mana?" Aretha bertanya saat tak menemukan Aruna di kelas. Hanya tas ranselnya saja yang sedang duduk manis di bangku.

"Ke toilet katanya mules."

Aretha hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.

"Emm ... Tha ..."

"Ya?"

"Soal kemarin—" Gerry membasahi bibirnya sebentar. Terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Kemarin?" Aretha merasakan jantungnya berdebar-debar saat tiba-tiba lagu yang dikirim Gerry kembali terngiang di dalam telinganya.

"Emm ... mak—"

"Ger! Lo tau enggak?"

Gerry berdecak kecil. Ini Farhan ngerusak suasana banget. Baru juga mau bilang makasih, batin Gerry menggerutu kesal. "Enggak!" bentaknya.

"Yeee," cibir Farhan. Tanpa diminta, ia duduk menghadap Aretha dan Gerry dengan tatapan berbinar. "Mata gue berasa sehat banget kemarin. Asupan vitaminnya nambah. Beuh." Farhan saling menggosok kedua telapak tangannya. Duduknya benar-benar tak bisa tenang seolah sedang kelewat antusias.

Gerry dan Aretha masih saja menyimak kelanjutan cerita Farhan yang menggebu.

"Kemarin waktu gue kelar main bola di lapangan dalem bareng anak kelas lain, gue kan pulangnya lewat lapangan tenis tuh. Duh gila ya sumpah. Dini tuh seksi banget," tutur Farhan seraya memejamkan matanya. Di dalam kepalanya seolah sedang terbayang betapa seksinya Dini, ketua klub tenis saat sedang ekskul kemarin.

Ja AlteaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang