"Pagi, Ger." Aretha menyapa riang, lengkap dengan senyuman lebarnya. Saat melihat Gerry merespon singkat hanya dengan mengangkat sebelah tangannya, senyum Aretha hilang seketika. Bahkan Gerry tak mau repot-repot untuk melihatnya seperti biasa.
Kemarin, setelah Aretha menuruti perintah Gerry untuk meletakkan fotonya kembali ke tempat semula, gadis itu sudah cukup dibuat bingung oleh tingkah Gerry yang tiba-tiba berubah lebih pendiam dan menjawab candaan Aretha dengan datar tanpa tertawa sama sekali. Kalaupun tertawa, hanya tawa datar dan terpaksa yang Gerry suarakan. Tak ada garis-garis tawa yang muncul di kedua ujung mata lelaki itu.
Dan pagi ini Gerry memperlakukannya sama. Ingin rasanya Aretha bertanya mengenai foto penuh coretan kemarin, tapi jika Gerry bersikap seperti ini rasanya ia lebih memilih untuk mati penasaran daripada dihadapkan dengan sikap Gerry yang kembali tak mengacuhkannya.
"Ger?" panggil Aretha setelah meletakkan tasnya di atas meja, memutar tubuhnya ke arah Gerry yang duduk di belakangnya.
Gerry hanya menjawab dengan menaikkan kedua alisnya.
Aretha membuang napasnya perlahan-lahan, sedikit panjang. "Gue ada salah ya?"
Kali ini Gerry hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai tanggapan.
"Ger, serius deh gue enggak enak." Aretha menggigit bibirnya, memandang Gerry penuh permohonan maaf. "Maaf kemarin gue udah lancang." Kali ini kepalanya ia tundukkan. Kuku ibu jarinya digoreskan berulang pada telunjuk tangannya yang lain.
"Nanti tangan lo luka, Tha."
Aretha mengerjap-ngerjap pelan saat melihat punggung tangan Gerry menutupi tangannya yang kecil. Darahnya berdesir pelan. Maksud hati ingin meminta maaf pada Gerry karena kelancangannya kemarin, tapi sepagi ini ia sudah dibuat lemas karena perlakuan kecil Gerry yang menurutnya manis ini.
Kedua tangan Aretha yang saling mengait, seketika terasa kosong saat Gerry menarik tangannya kembali. "Jangan dibiasain gores kulit pake kuku gitu. Nanti luka," lanjut Gerry.
Aretha mengangguk kikuk.
"Maaf ya, Ger," ulang Aretha lagi.
Kali ini Gerry membalas pandangan Aretha tanpa ekspresi. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Yang ia lakukan hanyalah bangkit dari kursinya dengan tiba-tiba.
"Gue ke koperasi dulu ya. Beli pulpen."
Aretha hanya mampu menghela napas panjang selepas Gerry pergi dari bangkunya. Gerry bahkan bersikap seolah menghindari pembicaraan yang diangkat oleh Aretha.
"Mending lo marahin gue Ger, daripada diem begini," gumamnya lemah.
*****
Diamnya Gerry seharian ini rasanya berdampak pada suasana hati Aretha yang berubah mendung. Ia menyesal, kenapa tangan dan bibirnya kemarin begitu lancang bertanya mengenai hal yang tak patut ia ketahui. Tapi di saat yang sama pula, ia semakin dibuat penasaran dengan sikap Gerry yang menandakan dengan pasti bahwa ada kisah penting di balik adanya foto itu. Jika itu adalah foto biasa, maka Gerry takkan menghindar seperti ini.
"Na, gue mau tanya sesuatu deh." Aretha akhirnya berniat untuk menuntaskan rasa penasarannya kali ini.
Mendengar nada penuh keseriusan dari Aretha, Aruna sontak menegakkan punggungnya. Ditelannya cepat-cepat minuman yang sedang melintasi kerongkongannya.
"Penting banget ya kayaknya? Muka lo tegang banget."
Aretha mengangguk tegas. Tak lama, ia menegakkan punggungnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Gerry sedang ada di sudut bagian minuman dan Reno sedang ada tepat jauh di belakang punggung Aruna, memesan empat mangkuk bakso untuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ja Altea
Ficção AdolescenteCover by: oflyng Kepada masa lalu, aku ucapkan selamat tinggal tapi tak pernah bisa benar-benar melupakan. Kepada masa lalu, kenapa dia terus membayang? Aku hanya ingin melangkah maju tanpa kepahitan. Tanpa kesedihan. Tanpa kesakitan. Kepada masa la...