Aretha merasa penolakan yang lagi-lagi dilakukan Gerry siang tadi, dibayar impas dengan keberuntungan yang menaunginya. Jika untuk mendapat keberuntungan—bisa bekerja dalam satu tim dengan Gerry—di satu minggu penuh ini, maka ia rasanya rela untuk ditolak berkali-kali seperti tadi.
Sebulan lalu saat pertama kali ia memutuskan untuk menempuh pendidikan formal dan bertekad untuk sembuh dari traumanya, ia tak pernah berpikir bahwa ia merasa tertarik pada Gerry sedalam ini. Sebulan lalu, yang ia tahu hanyalah: ia harus melawan ketakutannya. Berulang kali mengusap telapak tangannya yang mendadak bercucuran keringat setiap kali harus berinteraksi dengan lawan jenis. Beruntung dia mendapat satu bangku kosong di tempat Bobi yang notabene tak jelas jenis kelaminnya itu. Maka adaptasi awalnya tak begitu sulit karena Bobi lah yang menjadi lawannya.
Lalu saat menengok ke bangku belakang, ada ketertarikan yang menggelitik saat melihat lelaki yang duduk sebangku dengan siswi yang kemudian ia tahu sebagai incaran Reno sebulan lalu. Sebulan lalu, ia bisa gugup dan terbata jika bertatapan dengan tatapan mata Gerry yang menusuk sekaligus dingin di waktu yang bersamaan.
Waktu berjalan, Aretha sudah mulai terbiasa dengan semuanya. Mendekati Gerry-ditolak-mundur ragu-kemudian maju dengan penuh tekad, siklus itu terus berulang sampai saat ini.
Setelah berbulan-bulan lalu ia berkutat dengan trauma berat, ia kembali pada ketertarikan yang begitu besar. Dan lelaki beruntung itu adalah lelaki yang duduk di bangku yang berada tepat di belakangnya. Lelaki yang lebih banyak menghabiskan waktu tidurnya di kelas. Lelaki bernama Gerry yang begitu menyayangi sahabat perempuan sekaligus kekasih kakaknya-Aruna.
Aretha hampir melonjak senang saat ponselnya bergetar dan menampilkan pop up pesan di layarnya.
Gerrald Farand: terserah
Satu pesan balasan singkat dari Gerry. Aretha menyunggingkan senyum lebarnya. Memang bukan balasan yang ramah. Tapi setidaknya jawaban terserah bukan berarti penolakan untuk ajakannya melakukan kerja kelompok saat istirahat besok.
Ah, sepertinya Aretha bisa tidur begitu nyenyak malam ini.
*****
Ugh, kenapa waktu terasa berjalan lebih lambat jika kita terlalu antusias menunggu sesuatu? Bahkan Aretha merasa jam dinding yang berada tepat di atas papan tulis itu sedang mengejeknya. Lima menit lagi bel istirahat akan berbunyi nyaring dan ia sudah tak bisa menahan rasa antusiasnya lebih lama lagi.
Ia baru bisa diam dari tingkahnya saat mendengar Bobi berdecak kesal sembari memandangnya dengang jengah.
Aretha terkekeh salah tingkah. "Sorry," ucapnya tanpa suara.
Bobi bisa menangkap dengan jelas bahwa teman sebangkunya itu tak bisa tenang sama sekali. Sebentar mengetuk-ngetukkan pulpennya pada permukaan meja, sebentar merapikan roknya-bertopang dagu-mengetuk pulpen lagi, begitu terus berulang kali. Bobi lama-lama merasa risih.
"Lo apa sih grasak-grusuk begitu? Kebelet?"
Aretha hanya mampu meringis-memamerkan giginya.
"Ke toilet gih," ujar Bobi seraya bangkit dari duduknya.
"Lah, mau kemana Bob?"
Bobi melipat kedua tangannya di dada seraya menggeleng pelan. "Aduh Cantik, enggak fokus banget sih sampe enggak tau kalo Pak Bono udah pergi dari tadi."
Benar saja, kelas sudah mulai riuh dan meja guru sudah kosong.
"Awas ah, gue mau ke luar." Bobi menepuk-nepuk lengan Aretha.
Gadis itu kontan berdiri dari bangkunya. Saat melirik ke bangku belakang, ia melihat Gerry menggerutu sementara Aruna sedang tertawa geli.
"Berisik lo, Na. Untung gue sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ja Altea
Roman pour AdolescentsCover by: oflyng Kepada masa lalu, aku ucapkan selamat tinggal tapi tak pernah bisa benar-benar melupakan. Kepada masa lalu, kenapa dia terus membayang? Aku hanya ingin melangkah maju tanpa kepahitan. Tanpa kesedihan. Tanpa kesakitan. Kepada masa la...