Aruna sedang berjalan menyusuri satu persatu anak tangga saat pandangannya terfokus ke arah seseorang yang sedang menyandarkan kepalanya pada sofa, yang menghadap pada televisi di ruang tengah rumahnya. Aruna bisa menebak siapa yang sedang duduk di sofa tersebut meski posisinya membelakangi dirinya.
"Ger?" panggil Aruna saat bisa melihat dengan jelas wajah lelaki yang sedang memejamkan mata seraya memukul dahinya perlahan menggunakan kepalan tangan.
"Hm?" gumam Gerry.
"Ngapain lo di sini?" Aruna bertanya lagi sambil lalu. Kakinya dilangkahkan ke arah lemari pendingin, mencari botol air mineral yang biasa ia simpan di dalam sana.
"Gue dateng pas nyokap lo mau pergi, terus gue disuruh masuk. Yaudah gue masuk aja," jelas Gerry datar. Tangannya yang mengepal masih memukul-mukul pelan dahinya, seolah mencari cara agar pening di kepalanya bisa berkurang seketika.
"Lah?" Dahi Aruna berkerut dalam. Kali ini gadis itu mengambil duduk di samping Gerry, di sisi sofa yang kosong. "Kok jawaban lo enggak nyambung sih, Ger?"
Aruna mendengar napas yang dihela Gerry dengan keras.
"Kepala gue pusing, Na."
"Ih kan, enggak nyambung." Aruna lagi-lagi merasa aneh dengan tingkah Gerry. "Terus kalo pusing, lo ke sini gitu?"
"Emang kalo stress gini bisa bikin sakit kepala ya, Na?"
Kali ini Aruna yang menghela napas panjangnya. "Bodo amat ah, Ger. Lo ditanya apaan, jawabannya ke mana-mana. Enggak ada yang nyambung," gerutu Aruna seraya menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Eh, bentar deh." Aruna menegakkan punggungnya lagi saat tiba-tiba teringat sesuatu. "Lo kenapa deh sama Aretha? Kayaknya tadi pagi masih baik." Kali ini ia menatap lekat ke arah Gerry yang masih bertahan pada posisinya.
Pertanyaan Aruna membuat Gerry memutuskan untuk membuka kedua matanya. Gerakan dari tangannya yang sedari tadi mengepal mendadak berhenti. Diarahkan pandangannya pada Aruna tanpa ekspresi.
"Lo tau apa soal Aretha? Kenapa enggak cerita sama gue?"
Aruna menatap Gerry penuh kebingungan. "Tau apaan emang?"
Gerry berdecak. "Enggak usah pura-pura enggak tau deh."
"Apa sih, Ger? Enggak ngerti gue."
Gerry menatap Aruna lamat-lamat. "Lo ngerasa pegang rahasia besar apaan dari Aretha?"
Aruna mendadak merasa menyesal telah bertanya pada Gerry. Bulu kuduknya terasa meremang saat mendengar suara Gerry yang begitu dingin.
"Lo enggak pernah bilang sama gue kalo Retha udah enggak ... perawan," lanjut Gerry pelan.
"Jangan bilang—Astaga!" Aruna menutupi mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. "Jadi—" Aruna mendadak kesulitan menelan ludahnya. "Jadi lo udah ... tau?"
Gerry mengangkat bahunya dengan ringan. "Iya lah, orang dia yang bilang sama gue."
"Ih." Telunjuk Aruna menekan-nekan dahi Gerry berulang kali dengan gemas. "Dungu banget sih, Ger. Jadi Aretha nangis gara-gara lo ya? Ngapain lo bikin anak orang nangis begitu?"
Masih dengan tatapan datarnya, Gerry mengusap-usap dahinya yang sedikit terasa nyut-nyutan. "Gue kaget dia bilang enggak perawan, ya terus gue pergi. Dia begitu sama pacarnya yang dulu ya?"
Plak
Aruna memukul pelan sebelah pipi Gerry. "Sembarangan! Ya kalo sama pacarnya yang dulu, ngapain dia bisa sampe jejeritan enggak karuan gara-gara Farhan kemarin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ja Altea
Novela JuvenilCover by: oflyng Kepada masa lalu, aku ucapkan selamat tinggal tapi tak pernah bisa benar-benar melupakan. Kepada masa lalu, kenapa dia terus membayang? Aku hanya ingin melangkah maju tanpa kepahitan. Tanpa kesedihan. Tanpa kesakitan. Kepada masa la...