Part 8

6.6K 692 31
                                    

Gerry sedang berjongkok untuk mengikat tali sepatu olahraganya saat menyadari betapa sepatunya benar-benar usang. Dua tahun lalu saat ia beli dengan bundanya menggunakan uang hasil kejuaran polo air, sepatu ini berwarna navy. Dan yang saat ini sedang ia pakai, warnanya sudah tak jelas condong ke mana. Biru butek, biru muda, atau bahkan abu-abu saking usangnya sepatu itu. Gerry belum ingin menggantinya. Ia terlalu sayang dengan sepatu ini. Sepatu yang ia beli dari hasil kebahagiaan menjadi juara satu bersama timnya.

Melihat sol sepatunya yang sudah lumayan mangap di bagian belakang, Gerry baru sadar bahwa ini saatnya ia menyimpan sepatunya di satu kotak khusus barang-barang penuh kenangan yang berada di dalam kamarnya.

Tapi ... "Han, lo ada lem buat sepatu enggak di loker?" tanya Gerry saat sedang melakukan pemanasan bersama teman-temannya yang lain.

Farhan yang berada tepat di samping Gerry, melirik ke bawah seraya menggelengkan kepala. "Mau tambal yang mana lagi emang?"

Seraya mengangkat sebelah kakinya sesuai yang diinstruksikan oleh Pak Bandi, Gerry menunjukkan bagian yang mangap itu pada Farhan. "Nih. Ada enggak lemnya?"

Farhan memutar bola matanya dengan malas. "Ya lo pikir aja kira-kira gue masih punya sisa enggak pas lo pake lem gue minggu kemarin?"

Gerry hanya terkekeh.

"Kenapa lo enggak beli baru sih, Ger? Kasian itu sepatu lo. Kalo punya mulut pasti dia nangis sekarang."

Gerry mendengus. "Ngaco lo." Tapi tak lama kemudian, Gerry mengangkat sebelah kakinya lagi saat Pak Bandi sedang menginstruksikan murid-muridnya lari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali.

"Beneran belel sepatu gue," gumamnya seraya mengikuti di barisan paling belakang bersama Farhan saat teman-temannya sudah lari terlebih dahulu.

Gerry berlari kecil-kecil sesuai perintah. Di saat teman-temannya sudah hampir menyelesaikan dua putaran, ia satu setengah putaran pun belum ada. Lagipula yang diperintahkan hanya lari keliling lapangan, bukan lomba untuk menyelesaikan lari mengelilingi lapangan. Sebenarnya tidak maksud untuk memperlambat, tapi lebih karena ia merasa langkahnya makin lama makin terasa berat. Dan entah kenapa, Farhan malah mengikuti di sampingnya.

"Ger brenti deh, Ger," perintah Farhan tiba-tiba sembari menepuk bahu Gerry.

Gerry hanya melirik Farhan yang sedang memandang ke arah bawah. "Apaan sih ah."

"Noh." Farhan menunjuk ke bawah. "Gue bilang juga apa. Nangis beneran kan sepatu lo."

Gerry memandang bingung ke arah sepatunya.

"Angkat," perintah Farhan.

Tanpa pikir panjang, Gerry menurutinya. Ia berdecak kesal saat mendapati sol sepatunya berada dalam kondisi mengenaskan.

"Baru juga mau di lem lagi. Malah udah begini," gerutu Gerry seraya memainkan sol sepatunya yang mangap lebih lebar daripada tadi kala ia menunjukkan pada Farhan saat mereka sedang pemanasan.

"Farhan! Gerry!"

Keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati Pak Bandi sedang memandang dengan sengit seraya berkacak pinggang.

Mereka hanya terkekeh salah tingkah.

"Muterin lapangan tiga kali aja lamanya kayak kakek-kakek lagi encok. Cepat!"

Keduanya mengangguk serempak sembari mengayunkan kakinya lagi. Satu setengah putaran lagi.

Baru saja menyelesaikan putaran keduanya, Gerry mendadak misuh-misuh seraya menyeberangi lapangan dengan langkah yang terseret-seret. Dengan kebingungan, Farhan mengikuti langkah Gerry. Mumpung Pak Bandi lagi ambil absen, pikirnya.

Ja AlteaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang