Meredam Rasa

41 2 0
                                    

Aroma khas rumah sakit mulai menyapa indra penciumanku. Aku benci aroma ini. Kubuka perlahan mata ini. Warna putih ruangan mendominasi penglihatanku. Kulihat ibu tengah tidur sambil duduk di sampingku. Aku jg melihat ayah yang tertidur di sofa ruangan ini. Ingatanku berputar. Sungguh menyedihkan pagi ini. Aki yang seharusnya menjadi pengantin berbaring tak berdaya di hari pernikahanku. Hatiku terasa sakit. Air mata itu luruh lagi tanpa bisa kuhentikan. Haruskah aku melepaskan kebahagiaanku. Melepaskan cinta pertamaku? Tapi, mampukah aku tertawa bahagia di atas derita orang lain? Apa yang harus kulakukan, Tuhan?

Flashback on
"Maafkan saya, Mbak. Anak ini adalah anak Dion, jelasnya.
Aku hanya menutup mulutku tak percaya. Aku sangat tetkejut. Ia melanjutkan tanpa terganggu reaksiku.
"2 tahun yang lalu, Bang Dion datang ke Siantar katanya ada tugas selama seminggu di desa kami. Ia tinggal di rumah kerabatnya yang bertetangga denganku. Bang Dion ramah dan baik, kami langsung akrab. Ia memintaku menemaninya selama di desa. Walaupun tugasnya selesai, Bang Dion sering datang untyk menemuiku. Akhirnya kami pacaran. Salahku juga tak bisa jaga diri. Aku hamil. Tapi Bang Dion mau menikahiku dengan syarat keluarganya tak ada yang boleh tahu. Aku terpaksa menyetujui. Kami menikah dan hanya sesekali ia datang walau begitu ia tetap mengirim uang bulanan. Saat melahirkan pun ia menemani. Namun sejak 6 bulan belakangan ini, ia tak ada kabar. Uang kiriman jg tak datang. Kerabatnya yang di kampung ternyata kerabat jauh. Ia hanya mengetahui sekolah tempat Bang Dion bekerja. Tapi, saat ke sekolah tadi saya malah dapat kabar ia akan menikah.'!
"Tolong sqya, Mbak. Saya rela kalian menikah tetapi jangan lepas tanggung jawab pada anak kami."
Aku hanya terdiam dengan air mata yang bercucuran hingga kegelapan memelukku.

Flashback end

Aku menangis sesenggukan. Ibu terbangun dan berusaha menenangkanku.
"Maafkan aku, Bu. Udah buat ibu dan ayah malu."ucapku sambil menangis.
"Udah, gak usah dipikirkan. Kamu tenangin diri aja. Kalau sudah siap kamu bisa menceritakan semua pada Ibu. Apapun keputusanmu, kami mendukung, Nak.''ibu berusaha menenangkanku.
Aku menangis lagi sambil memeluk erat tubuh Ibu. Pelukannya sedikit menenangkanku. Cobaan ini begitu berat kurasa. Tapi bukan hanya aku yang menanggungnya. Ayah, Ibu, adik dan keluarga besarku pasti ikut merasakan akibat kejadian ini. Apa yang harus aku lakukan? Bisa saja aku tetap menikah dengan Dion. Toh, wanita itu jg tidak melarang. Tapi hati kecilku menolak hal itu. Aku juga wanita, aku saja merasa sakit dikhianati apalagi wanita itu. Ia bahkan memiliki anak.
Aku benar-benar lelah memikirkannya.
Tapi, di manakah Dion???

Hai...hai... aku update lagi. Ayo, mau gak mereka menikah ato Dion sama wanita itu aja??
Tunggu lanjutannya ya....
Medan, 22 Januari 2016

Mungkinkah....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang