p a r t 4

337 55 18
                                    


Wanita dengan gaun pesta yang masih melekat sejak kemarin duduk sendirian di sofa putih panjang. Jemarinya menjamahi setiap inchi kalung salib yang menggantung di lehernya. Mulutnya terbuka, "Bapa lindungilah anakku,"

Ritme nafasnya terputus putus, wajahnya merah padam dan kantung matanya berangsur angsur menebal. Kecemasan terus meliputi perasaannya, sesuatu yang buruk telah berusaha menekan perasaannya dari segala arah. Namun ia tidak menangis, ini terlalu sulit untuk diungkapkan.

"Emily, Tuhan melindungi nya." sebuah tangan merangkul bahunya dari belakang. Memeberi sedikit rasa nyaman. "Aku ini juga seorang ibu.."

Kepalanya menoleh ke belakang, mendapati sahabatnya yang tersenyum tulus sembari meremat kedua bahunya. Air matanya hendak tumpah saat melihat mata sahabatnya yang bagaikan serpihan kaca yang hancur.

"Kau tak akan bisa mengerti, ini terlalu sulit." suaranya terdengar serak, kepalanya disandarkan di bahu Alexy, sementara sahabatnya menatap manik itu dengan prihatin.

Tidak berapa lama mereka saling diam, suara mobil yang memasuki drive way terdengar kontras dengan suasana yang begitu hening. Derap kaki dari arah tangga mengembalikannya ke dunia nyata, rupanya putri sulungnya yang sedang berlari menuju pintu, lalu dengan susah payah menariknya. "Lihat, ini kabar baik rupanya."

"Kuharap, kau ada benarnya Alexy." bibir tipis Emily sedikit tertarik ke atas. Dia mempercepat langkah saat mendengar pintu depan dibuka.

"Adikku pulang!" nada ceria itu, mengisyaratkan semua akan baik-baik saja, seperti sebelumnya. Tapi lain halnya dengan Austin yang kelihatan kacau dengan sorotnya yang kosong. Jiwanya kosong.

Ice menghampiri ayahnya, dengan larian kecil yang menunjukkan bahwa dia sangat senang. Matanya berbinar cerah, saat menangkap mata gelap itu. "Dad, dimana dia? Ugh, aku merindukannya."

Deg! Perutnya terasa dijatuhkan dari tempat asalnya, mual menjalari lambungnya. Austin berkeringat dingin melihat tangan dengan sayatan razor itu memeluknya erat. Austin merasakan, bahwa jari jari itu bertaut satu sama lain di punggungnya.

Kenapa putriku terlalu mempercayaiku? Aku bukanlah ayah yang baik. Yang tak pantas mereka percayai.

"I--ce.." bibirnya bergetar. Sebisa mungkin, dia bergerak mundur. Mendadak, sepatu kulitnya menjadi perhatian yang menarik. "Dia..Elora.."

"Ah ya, aku tau dia kelelahan. Aku akan menggendongnya dari mobil! Terkadang bayi itu memang sangat merepotkan dad."

Kakinya gemetar di posisinya. Wajah ceria putrinya itu, seakan menyakiti relung hatinya semakin dalam. Percaya. Lagi lagi putrinya mempercayai seorang penipu, seperti dirinya.

Haruskah ia merampas kebahagiaan semu ini dengan kebenaran?

"Menjauh!"

Gadis pirang itu menoleh, menghentikan gerakannya yang hendak menggapai pintu limusin. Alisnya bertaut, matanya mengamati manik yang gelap itu, "Ezra.. Apa masalahnya? Aku hanya ingin melihat El-"

"Dia tidak ada! Kau tak bisa memeluknya lagi. Kau tak bisa menggendongnya atau apapun yang akan kau lakukan padanya!" Ezra meremat rambutnya, menjambaki rambutnya sambil perlahan berjongkok. "Dia.. Tak akan kembali."

Kaki itu berlari terhuyung huyung ke arah kakaknya yang nyaris tersungkur. Tangannya mengepal, meraih bahu Ezra dan mendaratkan sebuah bogem di pipi kirinya, "Kau.. Bangsat."

Darah mengalir di sudut bibir itu, sementara air matanya mengalir dengan deras. Meski gerakannya lemah, tangannya tidak berhenti melayangkan kepalan tinjunya untuk kakaknya, Ezra bangit. Memeluk Ice yang meronta di dalam cengkaramnnya.

Horrible PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang