p a r t 8

226 41 17
                                    

[Pict : Isabella Scherer as Beatrice Alvord]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Pict : Isabella Scherer as Beatrice Alvord]

Publish ulang publish ulang...-_- gue lama lama ngeselin ya. Sorry readers.

--

"Aku tak bisa berpura pura tidak merindukanmu, bear!" suara Ezra berseru terdengar dari earphone yang menutupi kedua daun telingaku. Alih alih mendengus aku justru tersenyum lebar mendengar pernyataannya.

"Tidak ada yang meneriakiku, aku jadi merindukan pemandu sorak itu." kulirik sekilas jam yang menggantung strategis di atas barisam wastafel.

"Ehm..mm Ezra, sepertinya aku harus menutup telfonnya. Jam istirahat hampir berakhir." kubersihkan mulutku dengan tisu sambil melangkah keluar cafetaria. Kudengar dia menghela nafas.

"Aku akan pulang nanti. Aku benar benar durhaka jika tidak pulang ke New York. Kita lanjutkan nanti sepulang sekolah."

"Okay, have a great day sist!" dengan begitu, aku memutus panggilan. Kumatikan ponselku dan beranjak menuju kelas.

Aku memandang koridor, dengan lamban aku menyusurinya. Sepatuku bergesekan lamban, menimbulkan suara gesekan yang membosankan. Kelas terlihat sepi-- juga berantakan. Tanpa peduli, aku segera duduk di mejaku.

Kupejamkan mataku begitu melihat Ray menatapku datar; seperti sebelumnya. Dia memanggil namaku, tapi aku dengan senang hati mengindahkan semua panggilannya.

"Setidaknya buka mulutmu, Alvord!" dia mendesis. Kulihat dia beranjak ke mejaku. Duduk di sana, membuat lenganku bergesekan dengan pahanya. "Aku tidak akan melakukan itu.."

Masih tidak menatapnya, aku berdiri. Berpindah ke bangku paling depan. Tempat si kacamata duduk. Dia hanya mengangguk begitu melihat tanganku menyuruhnya pindah. "Ah, kau tidak bisa berpura pura mengabaikanku Ice!"

Secara mendadak, tanganku dia tarik keras. Membuat tubuhku tertarik mengikutinya. Aku mencoba meronta, tapi cengkeramannya terlalu keras. Aku diam saja.

Aku mendongak, melihat pergelangan tanganku merah. Rasanya, sedikit perih. Dia menarikku menaiki tangga. Membuat sepatuku tersandung sesekali. "Aku akan membuatmu bicara."

Aku menggigit bagian dalam pipiku, sedikit kaget. Jika dia akan menggoreskan ujung tajam benda itu ke kulitku untuk membuatku buka mulut, aku tetap akan diam. Atau cara mengerikan apapun yang akan dia lakukan padaku, aku tetap tutup mulut.

"Seingatku kau tidak bisu kan?" sindirnya. Lalu menarikku ke koridor sepi di lantai atas. Mendorongku duduk di tumpukan meja berdebu. Bagian belakang rokku kotor karena itu. Aku hanya menunduk. Tatapannya kini menakutkan.

"Aku menyesal, kurasa kau berbeda. Ternyata pada dasarnya semua sama saja, semua hanya menunjukkan topengnya dihadapanku. Munafik!"

"Kupikir.. Kau temanku." sambungnya.

Horrible PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang