part 22

33 4 0
                                    

Ray membuka kotak obat yang sempat diberikan pria botak sekaligus membuka percakapan. "Kau tau, aku tidak sepenuhnya pingsan saat itu." Ray menggesek gesekkan kapas alkohol itu pada luka di betisnya, kemudian berganti pada lututnya, hingga pada beberapa lecet di kaki dan tangan.

Dua jam yang lalu kakiku dan Zedd bersamaan mengeluarkan kucuran darah karena peluru pengejut syaraf itu menembak tepat di pembuluh darah. Efeknya memang tidak langsung terjadi, namun rasa sakit luar biasa saat darah itu memancar bagai kran di tubuhku.

"Penjara itu sangat rumit, sempit dan bau. Saat aku digotong dengan tandu, kupikir aku bisa menghafal jalannya. Tapi sialan, kepalaku ditutup dengan kain hitam." jemarinya sibuk menyeka darah dimana mana, tapi aku terlalu memperhatikan lekuk bibirnya yang bergerak cepat. Kemampuan bicara inggrisnya memang luar biasa menurutku. "Saat di rumah sakit, kau tau mereka membangunkanku dengan apa? Disetrum!"

Ray mungkin sangat kesakitan. Lebih parah dariku. Aku dan Zedd untungnya tidak mengalami semua itu. Oke, sebagian, kami hanya mendengus sebagai balasannya. Maksudku, aku sibuk memerhatikan lekuk wajahnya yang tegas, dan Zedd mendengus.

"Kurasa, pria itu tidak payah. Meski kepalanya tidak berambut." Ray memandangi pria dengan kepala plontos, yang tadinya sempat menolong kami dari para polisi. Aku hanya tersenyum berterimakasih.

Zedd ikut memandang dan menimpali. "Sepelti yang kulihat di sampul buku pelajalan yang selalu kulihat bagian belakangnya saja, plia itu mungkin olang genius. Lagipula dia punya helikoptel sendili. Mana mungkin dia payah?"

Orang genius, aku hanya mengangkat bahu. Tapi, sebagian diriku berpendapat seperti Zedd karena pandangan alat alat canggih di sepanjang dinding menunju ruang TV. Aku tadinya sempat melihat ruangan dengan pintu besi di sudut paling pojok, kuasumsikan itu lab percobaan.

"Kalau begitu, kalian menjadi percaya? Siapa tau, dia polisi setengah Einstein." Ray tetap memandangi punggung pria itu setelah dia menyajikan senampan berisi tiga mangkuk sup kacang polong. Aku hanya tersenyum saat mengira dia juga setengah koki.

"Kalau begitu, aku percaya karena sup nya enak." Ray menoleh padaku, lalu menyuap sesendok sup ke mulutnya yang merah menahan panas. Sebelum Zedd menyuapkan sedok kedua, aku mencegahnya.

"Hei cuci tangan sana, Zedd! Tanganmu penuh darah." aku menahan sendoknya di depan mulutnya yang terbuka, dia mendengus tapi kemudian menurutiku dengan tisu basah.

"Kalena menulutku sup nya tidak enak, aku akan menjadi detektif hali ini. Sebaiknya kau lihat apa leaksi pelutmu sebental lagi Ice." katanya yakin. Aku memutar mata karena menurutku itu hal bodoh dan aku lapar.

"Bilang saja kau ingin pizza." aku mendahului Ray. Dia hanya mendengus selagi meletakkan mangkuk di aspal yang menjadi lantai rumah pria botak. Aku mengikutinya dan menambahkan. "Secara logika, tidak ada restoran pizza di daerah ini. Kau tau, lihat saja lantainya."

Zedd menunduk ke bawah. Bibirnya hanya menekuk selagi kakinya menghentak kasar. "Plimitif. Aku menyesal."

"Setidaknya dia menjauhkan kita dari penjara. Bahkan lebih enak sup kacang, meski mericanya terlalu banyak, daripada tulang ayam yang dikerubungi lalat hijau. Kau menyesal?"

"Kau makan itu disana?"

"Sebenanya aku belum memakannya. Aku hanya melihatnya dan ingin muntah. Di penjara sebelum itu mereka memberiku kentang rebus dengan taburan garam."

"Maksudmu Garlic Roasted Potatoes?" sementara aku mengatakan itu, dia mendengus jengah.

"Dengar ya, orang kaya. Yang kumaksud kentang rebus adalah kentang dengan kulit yang direbus bersama air menjijikkan yang diberi taburan garam."

Horrible PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang