A Goodbye

2.7K 205 6
                                    

2 tahun kemudian...
Kita tumbuh bersama tanpa tahu bahwa ada saatnya salah satu diantara kita akan pergi. Is it a good time to saying goodbye to each other? Or we could just pretend it's nothing? But i can't. Cause all this time i realize that you are my everything. -Dion

Aku sudah cukup lelah setelah mencari di segala penjuru rumah dan taman ini. Tapi tetap saja Carissa tidak bisa kutemukan. Dari dulu dia memang ahlinya dalam bersembunyi.

Aku mengacak rambutku dan memutuskan untuk istirahat sebentar di bawah pohon yang sedang kusandari.

Pluk! Sesuatu mengenai kepalaku yang jatuh dari atas pohon. Sandal? Seketika aku menyeringai dan mendongak ke atas. Aku bisa melihat wajah terkejut gadis kecil yang kucari sedari tadi.

"Ternyata kamu di sini. Ayo turun, Carissa. Kamu kalah."

Carissa tidak bergeming. Jangan bilang dia tidak tahu cara turun. Aku menghela napas. Aku mengulurkan kedua tangan ke atas.

"Ayo, lompat."

"Kak Dion emang kuat?" Tanyanya ragu.

"Iya. Cepat lompat sebelum aku berubah pikiran."

Carissa berjongkok di cabang pohon itu dan melompat. Meskipun sudah mempersiapkan diri, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang. Aku melenguh tapi langsung teringat dengan Carissa.

"Carissa, kamu gak apa-apa?" Tanyaku. Tapi yang kudapati adalah senyuman misterius di wajah polosnya.

Carissa yang menduduki perutku tiba-tiba menodongkan pistol dan menarik pelatuknya. Jleb!

"Yeee... Carissa menang! Kak Dion kalah lagi!" Carissa berlari dan bersorak senang.

Aku yang masih syok hanya bisa melihat kelakuan Carissa. Aku mencabut panah mainan yang menempel di dada kiriku. Ada sesuatu yang menyusupi hatiku ketika melihat senyum Carissa. Aku menatap Carissa lagi dan mendapatinya tengah tertawa ke arahku. Aku terkesima.

"Cantik sekali..." aku terkejut dengan kalimat yang tadinya hanya terlintas di pikiranku kini terlontar begitu saja dari mulutku.

Aku melihat Carissa berlari kearahku. Jantungku berdegup. Intensitas debarannya bahkan bertambah seiring jarak yang semakin dipertipis olehnya. Aku kenapa sih?

"Kak Dion kenapa? Kok masih rebahan di rumput?" Tanyanya. Aku hanya menatapnya tidak terlalu mengindahkan ucapannya.

"Kak Dion, jawab dong."

Aku tidak bergeming.

"Kak Dion, jangan bikin aku cemas gini dong."

Aku bisa merasakan sudut bibirku membentuk senyuman ketika mendengar nada khawatir Carissa.

"Hmm... kepalaku sakit." Raut wajah Carissa langsung berubah. Dia terlihat benar-benar khawatir sekarang. Aku meringis seperti tengah menahan nyeri untuk menyempurnakan aktingku.

"Gara-gara jatuh tadi ya? Maaf ya, kak Dion. Eh, kalo gitu kita ke rumah yuk. Biar diobatin. Kak Dion bisa jalan, kan? Sini aku bantuin." Aku menggeleng. Cukup senang dengan rentetan kalimat yang ia ucapkan.

"Gak mesti diobatin kok. Kamu usapin aja pasti sembuh." Carissa memiringkan kepalanya sambil mengerutkan kening lebarnya. Aku senang sekali menyentilnya di sana.

"Beneran?" Aku menjawabnya dengan anggukan. Ia berjongkok dan membantuku duduk. Lalu menempatkan telapak tangannya di belakang kepalaku dan mengusapnya perlahan.

"Duh, kepalaku rasanya berat. Enak kali ya kalo bisa rebahan..." Seakan mengerti, Carisaa yang tadinya berjongkok langsung duduk di rumput dan meluruskan kakinya. Ia menatapku lalu menepuk-nepuk atas pahanya. Aku gemas ingin mencubit pipinya.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang