Fifth Kiss

796 83 7
                                    

Dion PoV

Aku bukanlah orang yang temperamen. Sekali lagi bukan. Hingga rencana yang sudah kususun rapi dan matang menjadi hancur karena kecerobohanku. Atau memang itulah takdir.

"Dion, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi." bisik mami ketika seorang suster berjalan pelan membawa nampan.

"Tidak perlu repot-repot, suster. Hari ini putraku sudah boleh pulang." tolak mami secara halus. Suster itu tersenyum singkat lalu berjalan lebih cepat, terlihat lega bahwa aku akan pergi.

Aku ingat ketika aku melempar nampan makan siangku dan membuat suster yang memasuki kamarku menahan perih akibat bubur panas yang mengenai kulitnya.

Aku hanya diam dalam perjalanan pulang. Setidaknya dari rumah sakit menuju rumahku menempuh waktu 30 menit. Simon, supir pribadi dan mami, mereka harus puas dengan mendengar kata 'oui' (Ya) dan 'non' (Tidak) setiap mami mencoba mengajakku berbicara.

Ayah tampaknya sudah menyerah dengan sikapku dan memilih menyibukkan diri dengan kembali melakukan perjalanan bisnis. Terakhir ia menjengukku adalah 4 hari yang lalu.

Kurasa aku sangat sehat. Itu yang membuatku kesal karena aku tidak tau apa yang membuat dokter menahanku begitu lama di rumah sakit. Leherku harus diberi penyangga karena whiplash injury yang masih sering menyerang. Memang sedikit nyeri. Yah... Sedikit. Selebihnya aku baik-baik saja.

Aku memandang telapak tanganku yang dibalut perban hingga ke pergelangan tangan kiri.

Baiklah... Keadaanku tidak sebaik yang kupikir. Mungkin aku harus berlatih menggunakan tangan kanan karna selama ini aku kidal.

Aku menghela napas. Lalu aku kembali mengingatnya. Carissa. Nama yang selalu kuucapkan dengan penuh kerinduan.

Gagal sudah. Usahaku sia-sia. Aku tidak bisa menghubungi Bima karna ponselku yang aku yakini bernasib lebih sial daripada tanganku, tidak bisa ditemukan di TKP. Dan juga karna mami melarangku menggunakan ponsel saat ini karna tanganku yang katanya masih tahap pemulihan.

Aku mengerang frustasi. Rasanya kepalaku akan meletus karna terlalu banyak memikirkan Carissa. Dan semuanya sia-sia.

Kalau saja pengemudi mabuk itu tidak menabrakku. Kalau saja aku tidak lembur. Kalau saja aku hati-hati. Kalau saja pikiranku tidak hanya berisi seputar Carissa dan Carissa.... Mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi.

Simon membukakan pintu untukku atas perintah mami. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju rumah, menolak bantuan Simon untuk memapahku.

"Dion, kamu belum sehat total, sayang..." pekik mami menyusulku. Ia sudah merangkul lenganku.

"laissez-moi tranquille, s'il vous plaît. " ucapku sambil melepas tangan mami. (Tolong biarkan aku sendiri)

"Aldion Carmignac..." itu tanda kalo mami sedang memberi peringatan pertama.

Seketika pandanganku kabur. Dan semakin lama semakin gelap. Aku merasa sudah tidak bisa menopang massa tubuhku hingga aku ambruk. Samar-samar kudengar langkah beberapa orang mendekatiku.

"Kenapa putraku keras kepala sekali?" keluh mami yang masih bisa kutangkap.

Hei, aku masih mendengarnya.

Aku memilih membenamkan diriku dalam rasa nyeri di sekujur tubuhku. Membiarkan kegelapan menenggelamkanku dalam gambaran Carissa yang sudah dewasa. Ya, setidaknya biarkan aku memilikinya dalam mimpi.

Aku tersenyum ketika merasakan tangan hangat yang membelai pipiku. Sangat pelan layaknya aku adalah makhluk yang rapuh.

"Ini aku. Carissa." bisik suara itu lembut di telingaku.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang