Another Side

2.1K 151 9
                                    

Keep doing the right things. Maybe someone have fallen for every kindness that you do.

Pukul 7 aku sudah bersiap-siap untuk pergi menemui ayah. Aku pamit pada ibu kalau aku akan pergi dengan Tania. Sebenarnya, seluruh kebohonganku selalu melibatkan Tania. Ah, aku bisa apa tanpa Tania.

Aku menemukan mobil ayah terparkir 3 rumah dari rumahku. Ayah membukakan pintu untukku, sepertinya ia sudah memperhatikanku sejak tadi.

"Putri kecilku..." ayah langsung memelukku erat. Aku membiarkannya tanpa membalas pelukan ayah. Ada perasaan sakit yang masih kusimpan sejak ayah meninggalkan kami. Apa aku bisa memaafkan ayah?

Setalah cukup lama, ayah melepas pelukannya dan mengelus puncak kepalaku. Aku melihat ada rasa rindu dan penyesalan di matanya. Setidaknya ia hidup senang sekarang. Badannya lebih berisi dan terawat.

Sepanjang perjalanan yang ayah lakukan adalah mewawancaraiku. Yang tidak berubah darinya adalah selera humor ayah yang buruk.

Namun hal yang lebih mengganggu adalah kebiasaan ayah memenuhi piringku dengan makanan pilihannya. Sedikit menyebalkan, tapi itulah momen yang tidak bisa kulupakan saat bersamanya.

"Kamu harusnya banyak makan daging. Apa istilahnya? Ah, ya, protein. Biar punya tenaga kalo belajar. Kamu memang selalu susah kalo disuruh makan." Aku mungkin terdengar aneh tapi menyenangkan untuk mendengar omelan ayah tentang makanan lagi.

Kami selayaknya "partner in crime" dulu. Meskipun kami banyak berdebat, tapi itu justru memperjelas kesamaan kami, kepala batu.

Aku pernah merasa ayah tidak suka dengan teman masa kecilku yang super kaya saat berumur 6 tahun. Ketika aku bilang "super kaya" bisa dibilang dia sejajar Gu Jun Pyo di drama Boys Before Flowers.

"Ayah ingat waktu aku masih 6 tahun, ayah berbohong sewaktu temanku datang mengajakku bermain?" Tanyaku tiba-tiba. Entah kenapa kejadian itu membuatku penasaran.

"Ayah sebenarnya tidak suka dengan anak itu." Dugaanku benar ternyata.

"Kenapa?" Tanganku berkeringat seiring dengan irama jantungku yang semakin cepat. Jangan-jangan ayah tau sesuatu tentang dia yang kusembunyikan.

"Entahlah. Seingat ayah, orangtuanya itu pengusaha kaya raya dan dia homeschooling saat itu. Jadi bisa dibilang ia tidak punya teman juga, sepertimu. Tapi daripada bergaul dengan anak laki-laki seumurannya, dia lebih sering bermain denganmu. Ayah... entah kenapa kurang menyukainya." Ayah bisa dibilang tahu banyak tentang orang-orang di sekitarku. Padahal saat itu hubungannya sedang tidak baik dengan ibu.

"Mungkin ayah cemburu." Ujarku pelan tapi masih bisa didengar.

"Tentu saja. Dia suka memintamu menginap di rumahnya dan mengajakmu liburan ke luar kota. Bisa saja dia berniat menculik putriku yang gembul saat itu."

Aku tertawa. Tapi dalam hati aku benar-benar takut. Anak itu mungkin terlihat baik di luar. Tapi dia bisa berubah ketika hanya berdua denganku. Hal yang tidak terpikirkanku sebagai anak berusia 6 tahun kini bisa kupahami dengan jelas. Dia tidak sebaik yang terlihat.

Malam itu aku menyadari bahwa seburuk apapun orang-orang menilai ayah, aku akan tetap melihat hal baik tentangnya dan mengingatnya sebagai laki-laki terhebat dalam hidupku.

Jika hangatnya pelukan ibu menenangkanku, maka pelukan ayah lah yang menguatkanku dan membuatku bangkit lagi. Ya, sudah kuputuskan. Aku akan merelakannya dengan kehidupannya yang sekarang. Aku akan selalu di sisi ibu dan menguatkannya seperti pelukan ayah.

"Hei.." seseorang menepuk pundakku pelan. Aku tidak terlalu yakin itu Bima jika bukan karena alis tebalnya yang hampir menyatu itu. Dia menutupi kepalanya dengan tudung hoodie-nya.

"Buka tuh tudungmu. Pake serba hitam gitu malah keliatan kayak stalker tau."

"Tadi ayahmu?" Tanyanya to the point. Aku mengangguk.

"Pantas kamu nangis." Aku menangis? Aku menyentuh pipiku dan terasa basah. Aku bahkan tidak menyadarinya.

"Kamu gak punya alasan buat nangis. Kamu pinter, suara bagus, bisa dibilang gak punya haters, dan punya temen super ganteng dan perhatian kayak aku." Ucapnya narsis.

Aku menaikkan alis.

"Sok ganteng, inget dulu badanmu kayak gentong. Kalo perhatian, itu mestinya kamu siapin surprise buat ulang tahunku." Entah kenapa Bima selalu bisa membangkitkan rasa jengkelku padanya.

"Aku sadar toko kami bakal bangkrut kalo aku gak merubah kebiasaan makanku." Aku tertawa. Bima memang dulu suka mencuri roti-roti di toko kue mereka. Sekarang juga masih gitu. Tapi biasanya dibawain buat cewek incarannya. Dasar cowok gak modal!

"Ngomong-ngomong soal surprise, aku mau nanya sesuatu." Wajah penuh humornya berubah menjadi serius.

"Kalau nantinya ada seseorang yang mengajakmu pergi ke tempat yang jauh, apa reaksimu?" Tanya Bima.

Apa Bima cuma asal bertanya atau ini berarti dia ingin mengajakku ke tempat jauh? Tapi dia kan gak perlu seserius itu. Kami kan sering bepergian. Atau yang ia maksud adalah kami pergi hanya berdua?

Kepalaku sudah penuh dengan berbagai spekulasi konyol seperti Bima hendak membawaku ke luar negeri dan menjadikanku TKW.

"DORR!!" Aku melompat kaget. Aku melihat Tania tertawa puas dengan reaksiku.

"Kenapa sih kalian lama banget?" Tanya Tania masih menyisakan senyum menyebalkan di wajahnya. Aku menatap Bima meminta penjelasan.

"Kujelaskan sambil jalan. Ayo." Tapi aku sudah mencium kebusukan mereka. Ini buruk. Kurasa mereka berniat melakukannya sekarang.

"OK. Aku pulang." Tapi terlambat, bahuku sudah ditahan oleh Tania dan Bima.

"Tenang aja, Car. Biar rumah ini kosong tapi masih terawat kok. Tuh rumputnya pendek, bentuk bonsainya masih kejaga. Walaupun listriknya udah mati sih." Aku menyesal kenapa kami harus menjalani ritual bodoh untuk setiap yang ulang tahun.

"Udah ah! Lagian udah jam 11. Ntar kak Winka marah kalo aku belum pulang." Ucapku cari-cari alasan.

"Aku udah pamit kok tadi. Aku tadi udah bilang kalo kita mau kasih kamu surprise." Tania nyengir kuda. Ini dibilang kejutan? Ini sih uji nyali!

"Lagian ngapain sih aku mesti masuk rumah kosong kayak gini?" Protesku.

"Mesti dong. Ini kan ulang tahunmu jadi harus spesial! Inget sewaktu kalian ngurung aku di gudang sama tujuh badut?" Aku menatap Bima dengan rasa bersalah.

Kejadian itu 3 bulan yang lalu, saat Bima ulang tahun ke-17 juga. Aku yang punya ide saat itu. Aku dan Tania menyewa tujuh badut dan menyembunyikannya di garasi rumah Bima.

Hari itu aku tertawa keras melihat wajah putus asanya dikerumuni badut-badut yang ditakutinya. Kudengar dia sampai minta ditemani tidur adiknya selama tiga hari berturut-turut karena kejadian itu.

"Ini sih sama aja kayak dulu." Gumamku.

"Kamu masih inget ya?" Tanya Bima. Tentu. Hari itu juga aku bertemu dengan Dion. Dan disini juga aku menghabiskan banyak waktu bersamanya.

"OK. Peraturannya masih sama. Satu jam dan setelah itu kami masuk menjemputmu. Tapi, bukannya ini terlalu mudah buat Carissa? Aku dulu sampe disuruh gendong monyet peliharaan Bagus sejam lo.." Aku dan Bima terkikik.

Momen paling lucu adalah saat si Boy (peliharaan Bagus) memberi ciuman perpisahan di pipi Tania. Sepulangnya, Tania gak berhenti nangis karena Boy udah mencuri ciuman pertamanya.

* * * * * * *

Cuma mau bilang....
Selamat menjalankan ibadah puasa readers!😉
Ayo banyakin pahala dengan kasih vote dan comment yang positif ya! ^^
Part selanjutnya bakalan panjang dan seru lo wkwk

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang