Prolog

8.7K 243 10
                                    

I'd rather die than life for a thousand years without you...

Mungkin akulah yang salah. Aku tidak bisa menjadi seseorang yang menyenangkan untuk dijadikan teman. Lihat saja, mereka semua sedang bermain kejar-kejaran di lapangan rumput itu. Aku? Aku hanya duduk di sebuah ayunan sambil memangku buku dengan sampul berwarna biru berjudul Helen Keller. Ya, buku biografi.

"Carissa..."

Aku menoleh dan berusaha menyunggingkan sebuah senyum. Itu Bima. Dia pasti datang untuk mengajakku bermain. Lagi.

"Kenapa sih kamu duduk terus? Kamu juga harusnya ikut main. Ayo!" Wajahnya memerah karena terkena matahari. Dan dia bau sekali. Ingin sekali aku menutup hidungku tapi aku takut Bima tidak bersikap baik lagi jika aku melakukannya.

"Aku gak suka panas-panasan. Aku di sini saja, Bim," jawabku dengan senyum. Tapi alis Bima masih bertaut, hampir terlihat seperti Brutus. Tokoh jahat dalam kartun Popeye yang sering kulihat di tv. Posturnya juga mendukung.

"Selalu saja bilang begitu. Ya sudahlah, aku capek membujukmu." Bima pergi menuju ke tengah lapangan bersama anak-anak yang lain.

Aku menghela napas. Rasanya aku benar-benar menjadi anak yang paling membosankan di taman ini.

"Carissa..."

Aku menoleh ke arah gadis seumuranku dengan rambut dikepang. Itu Thalia, anak perempuan paling tinggi di taman bermain ini. Entah kenapa, dia punya aura yang menakutkan bagiku.

"Ya, Thalia?" Suaraku bahkan terdengar sangat pelan, hampir seperti tikus yang terpojok oleh kucing.

"Buku apa itu?" Dia melirik kearah buku dipangkuanku.

"Oh, ini kisah hidup Helen Keller."

"Siapa itu?" Tanyanya penasaran.

"Dia orang hebat. Dia buta, tuli dan bisu. Tapi dia bisa lulus menjadi sarjana dan menjadi seorang motivator." Aku benar-benar suka buku ini. Aku jadi tahu kalau ada orang yang hidup dengan keterbatasan tapi memiliki semangat hidup yang hebat.

"Motitor? Apa itu?" Aku hampir saja tertawa ketika Thalia salah mengucapkan 'motivator'.

"Motivator. Semacam penceramah yang khusus memberikan motivasi hidup. Kira-kira seperti itu."

"Entahlah. Kurasa itu gak cocok untuk anak-anak." Aku tidak setuju. Kurasa ini bahkan bahan cerita yang lebih baik untuk diperdengarkan bagi anak-anak daripada dongeng-dongeng yang tidak masuk akal.

"Oh, ya. Minggu depan aku ulang tahun. Datang ya." Thalia mengeluarkan beberapa amplop berwarna pink dari sakunya dan memberikannya satu untukku.

"Terima kasih," ucapku. Thalia mengangguk lalu pergi ke kumpulan anak perempuan yang sedang memetik bunga-bunga yang bahkan masih berupa kuncup. Sayang sekali... pikirku.

Aku menengadah menatap langit yang berwarna biru dihiasi gumpalan-gumpalan putih. Rasanya tinggal di atas sana pasti menyenangkan. Tenang dan damai. Aku membayangkan sedang duduk di atas awan, memegang buku tebal dan mengamati Bima, Thalia dan yang lain tengah asyik bermain di taman ini. Mereka bahkan lebih baik tanpaku.

Aku berdiri dari ayunan itu dan melangkah pergi. Aku sedikit terganggu dengan tawa dan teriakan mereka. Atau akulah yang tidak mengerti kesenangan?

"Carissa, tunggu!" Aku menghembuskan napas. Bima sedang berlari ke arahku. Bajunya sudah terkena tanah, begitu juga dengan celananya. Apa ia tidak takut dimarahi ibunya?

"Kenapa pulang sendirian? Kan sudah ku bilang, kita harus pergi dan pulang bareng." Aku hanya mengangguk dan tidak ingin berdebat dengan Bima.

Yah, ia memang nakal tapi ia selalu patuh dan mendengar pesan orang tua. Ibuku memang selalu mempercayakanku kepada Bima. Mungkin karena ia setahun lebih tua dariku.

"Besok jangan bawa buku itu lagi kalau mau pergi main. Gak ada yang tertarik dengan buku seperti itu. Cobalah tersenyum dan menyapa anak-anak yang lain. Wajahmu kan menggemaskan, pasti mereka bakal dengan mudah menyukaimu."

Aku berhenti dan menoleh kepada Bima yang berdiri di sampingku.

"Menggemaskan? Wajahku?" Tanyaku bingung.

"Iya. Kamu tau kak Dion, kan? Dia pernah bilang begitu." Aku menggeleng. Siapa itu kak Dion?

"Ah, kamu ini..." Bima tampaknya teralihkan dengan seseorang di belakangku. Ternyata itu mamaku. Ia baru saja selesai memotong rumput.

"Tante, aku udah antar Carissa. Aku pulang ya!" Aku hendak meminta penjelasannya tapi Bima langsung melengos pergi begitu saja setelah mendapat ucapan terima kasih dari mamaku.

"Ma, mama kenal yang namanya kak Dion?" Tanyaku langsung.

Mama mengerutkan kening sambil mengelap keringat di lehernya. Tidak sepertiku, mama itu lebih terkesan cerewet dan suka ngobrol.

"Kayaknya mama pernah denger. Oh, dia anak yang nganterin cheese cake kemarin, kan?" Hah? Aku semakin bingung.

"Cheese cake yang kemaren?" Aku ingat kemarin aku makan kue yang enak sekali. Mama bilang itu dari tetangga kami.

"Iya. Waktu itu kamu pasti lagi main di taman bareng Bima, makanya kamu gak tau. Anak yang mengantarkan kue itu namanya Dion. Kalo gak salah umurnya 10 tahun." Aku mencoba menyerap informasi dari mama.

"Berarti 5 tahun lebih tua daripada aku ya, Ma?" Tanyaku memastikan.

"Wah, ternyata gak sia-sia mama ngajarin kamu matematika, ya." Mama mengangguk senang.

"Mamanya Dion itu juga baik lo. Dan cantiiik....banget kayak model. Kamu tahu kan, rumah baru yang paling gede di komplek ini? Nah, itu rumahnya. Kamu tau gak, pertama kali mereka pindah...." Mama berceloteh panjang lebar hingga rasanya aku akan tidur sambil berdiri.

* * * * * * *

Hai, readers semua^^ ini cerita pertama yang aku terbitin. Aku bakalan seneng bgt untuk kalian yang luangin waktu buat baca cerita ini :)
Jgn lupa vomment ya!! Thanks :*

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang