The Feeling

688 67 5
                                    

Carissa PoV

Sepanjang hari aku menghabiskan waktu berbicara dengan mami, tante Odelia. Yah, tante Odelia bersikeras agar aku memanggilnya seperti itu. Beliau sangat ramah dan menawan. Rumah ini lebih luas daripada rumah Dion di Indonesia. Aku berdecak kagum ketika mendapati interior yang didesain mewah dan berkelas.

Sebenarnya jujur saja aku tidak nyaman. Maksudku berada di tempat asing. Aku terbayang rumahku yang sempit dan tidak memiliki dekorasi seni apapun didalamnya. Sangat berbanding terbalik dengan rumah tante Odelia. Seketika aku merasa kecil, aku menciut di dalam rumah megah ini.

Mami membawaku bertemu beberapa pelayan di rumah ini. Oh, tentu saja rumah sebesar ini perlu pelayan.

"Kamu tidak perlu sungkan jika perlu sesuatu, Carissa. Mereka juga bisa berbahasa inggris jadi kamu bakal mudah berkomunikasi dengan mereka." jelas mami yang kujawab dengan anggukan.

Wow, apakah mudah mencari pekerja yang bisa berbahasa inggris di Paris? Supir yang menjemputku dan Bima tadi juga fasih berbahasa inggris. Ah, kalau tidak salah namanya Simon.

Mami mengatakan sesuatu dengan bahasa Perancis. Aku hanya tersenyum, tidak mengerti sedikitpun yang mami katakan. Aku mendapati para pelayan itu tersenyum padaku, terlihat antusias.

Aku membalas mereka dengan senyuman yang lebih lebar. Apakah orang-orang Perancis seramah ini?

"Oh, kamu pasti capek sekali ya." aku mengerjap beberapa kali karna tidak mendengar mami.

"Maaf, mami. Tadi aku melamun." aku menunduk malu.

Ia tersenyum maklum.

"Apa mami cuma tinggal berdua dengan Dion?" mulutku sudah gatal untuk menanyai mami pertanyaan ini sedari tadi karna aku tidak melihat ayah Dion. Aku sebenarnya tidak pernah bertemu ayah Dion secara langsung. Saat di rumah Dion dulu, aku bahkan tidak pernah melihat foto ayahnya.

"Oh, papi Dion sedang dalam perjalanan bisnis di Brussel. Dia itu workaholic. Dion juga sama saja dengan ayahnya. Kamu bisa bayangkan bagaimana kesepiannya mami selama ini." ucapnya dramatis tapi tidak menghilangkan aura keanggunannya. Aku tersenyum simpul.

"Makanya mami seneng kamu disini, Carissa. Mami bakal punya teman ngobrol, jalan-jalan, mungkin besok kita harus pergi shopping. Bagaimana menurutmu?" mata mami berbinar-binar dengan ide yang ia ungkapkan. Shopping? Astaga, kurasa mami butuh orang lain untuk diajak.

"Mami, selera fashionku sangat buruk. Aku juga tidak mungkin shopping di Paris, maksudku, aku bahkan sudah sangat bersyukur bisa ada di sini." walaupun apa yang sebenarnya ingin kukatakan adalah 'aku tidak punya uang untuk dihambur-hamburkan, mami.'

"Oh, astaga, Carissa, mami lah yang memintamu kesini dan mami yang bertanggung jawab atasmu. Kamu tidak perlu memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu, sayang. Yang penting kamu betah disini." mami menangkup tanganku dan menepuknya pelan.

Betah? Maksud mami betah untuk tinggal di sini? Dalam jangka panjang? Atau aku mengartikannya terlalu jauh?

"Nope. Carissa adalah tanggung jawabku." suara berat dari arah belakang membuatku memutar badan.

Aku mengumpat dalam hati ketika merasakan reaksi jantungku yang berlebihan ketika bertatapan dengan Dion. Hei, bisakah kau bertingkah biasa saja? Jangan membuatku semakin gugup dan terlihat bodoh! Rutukku sebal pada organ tubuhku sendiri. Tampaknya Dion sangat mempengaruhi bagian dalam diriku. Perlu dicatat, dia tidak baik untuk kesehatan.

Dan sialnya Dion duduk di sampingku, membuat jantungku semakin berdegup kencang. Jadi aku duduk diantara ibu dan anak ini. Aku sedikit mencondongkan tubuhku kearah mami, sedikit membelakangi Dion.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang