Shout!

949 83 13
                                    

Ujian sudah berakhir. Semua sibuk dengan persiapan masuk universitas. Tapi tidak denganku. Kepalaku masih dipenuhi dengan Dion dan tiket sial itu. Gimana caranya minta izin mama? Bakalan aneh kalo aku jujur soal Dion.

"Car, kamu kok diem terus sih? Sariawan?" Tania sedang membereskan buku-buku di mejanya. Aku bahkan gak sadar kalo ini sudah jam pelajaran terakhir.

"Bu Alya mana, Tan?" tanyaku.

"Eh, ditanyain malah nanya yang lain. Tadi kan ibunya bilang ada urusan. Kamu sih gak dengerin." Aku manggut-manggut sambil ikut membereskan buku yang bahkan belum kubuka sama sekali. Jika bukan karna hal gila yang menimpaku akhir-akhir ini, mungkin aku akan sangat senang dengan kemurahan hati bu Alya karna aku malas berurusan dengan subbab geometri.

"Hasil TO-nya udah ditempel," kata ketua kelas saat ia baru memasuki kelas.

"Duh, aku masih belum lulus."

"Wah, Carissa peringkat satu, ngalahin Rendra."

Aku hanya tersenyum tipis ketika beberapa dari mereka mengucapkan selamat. Aku bahkan bingung kenapa bisa jadi peringkat pertama.

"Aku juga pengen liat, temenin, Car." Tania langsung menarikku tanpa aba-aba. Apa aku kurusan atau Tania yang kelewat strong? Rasanya kakiku sudah tidak menapak di lantai ketika ia menarik lenganku.

"Sebenernya aku juga pengen liat Bara. Biasanya jam segini dia udah ke ruang musik." Aku memutar mata. Stalking tingkat dewa.

Ada tujuh cowok yang sedang berdiri di depan mading. 3 diantaranya menggerutu kesal dengan hasil yang mereka dapat. Sisanya terlihat cuek. Aku cukup bersyukur tapi pikiranku benar-benar berada di tempat yang berbeda.

"Tan, aku disini aja ya. Sesak banget disana apalagi banyak cowok." Tania mengangguk. Ia menyelipkan badannya diantara cowok-cowok itu tanpa risih.

"Carissa.." rasanya ada yang memanggilku. Aku menoleh. Oh, Rendra.

Dia menyodorkan tangannya.

"Selamat ya, kudengar kamu terlambat setengah jam dan ngumpulin kertas jawaban 40 menit sebelum waktu selesai."

Aku menautkan alis. Dia tau darimana? Aku bahkan gak tau kalo aku ngumpulin jawaban 40 menit lebih awal. 

"Cuma TO kok jadi gak perlu sampe diselamatin kayak gitu." aku menjabat tangannya. Aku bisa melihat ada maksud terselubung dari tatapannya.

Aku jarang berbicara dengan Rendra. Kami beda kelas dan dia juga bukan tipe orang yang akan berteman denganku. Dia anak olimpiade fisika dan aku si tukang telat dan sering melanggar peraturan.

Aku menarik tanganku tapi dia menjabat tanganku lebih kencang. Aku menatapnya tajam. Apasih maunya anak ini?!

"Kamu harusnya menikmati pujian yang kamu dapat selagi namamu di paling atas. Oh, ya, kamu mau ambil jurusan apa? Kedokteran? Yah, wajar sih kamu jadi pengen jurusan itu setelah dapat peringkat bagus."

Si cupu ini nyari masalah? Aku maju satu langkah dan menarik kerah bajunya. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang tengah memperhatikan kami.

Rendra memundurkan wajahnya. Ha! Beraninya cuma sama cewek

"Aku gak peduli soal peringkat yang menurutmu penting itu. Otakku gak seencer punyamu jadi kamu gak usah terusik cuma karna peringkat itu. Yang kamu harus takutkan itu adalah tindakanmu sekarang. Kalo kamu mau, aku bisa bikin otakmu beneran encer, dalam artian sebenernya."

Tania menarik tanganku dari kerah baju Rendra dan memaki si cupu dengan kata-kata kasar. Aku cukup tersentuh karna Tania melakukannya untukku. Beberapa temen si cupu itu juga datang menengahi.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang