Madness

2.3K 170 8
                                    

Tell me a lie, still i will believe you. Tell me a truth, and i will believe you forever.

Mataku terbuka ketika mendengar suara nyaring jam di mejaku. Aku meraihnya lalu mencabut batrenya agar tidak berbunyi lagi. Hari ini kan libur nasional, harusnya libur bangun pagi juga.

Hp-ku berdering tapi aku mengacuhkannya. Namun semakin lama, suaranya semakin menggangguku. Aku mencoba membaca nama yang tertera di layar tapi pandanganku masih kabur.

"Halo?" Aku menimpa hp diantara bantal dan sisi kepalaku.

"Carissa, kamu baru bangun? Selamat ulang tahun ya!" Seru suara bariton di seberang dengan ceria.

Aku menatap layar hp-ku. Ayah?

"Telponnya besok aja. Ulang tahunku kan besok." Aku menguap lalu merapatkan selimut ke badanku.

"Ayah tahu. Ayah telpon sekarang biar jadi orang pertama yang ngucapin ke kamu. Tante Lina sama Puri juga titip salam buat kamu." Aku manggut-manggut walaupun ayah tidak mungkin tau.

"Oh, makasih, Yah." Ucapku datar.

"Tenang aja, besok ayah ucapin lagi. Baik-baik disana ya. Nurut apa kata mama sama kakakmu." Aku mengiyakannya dengan cepat. Aku menghargai usaha ayah tapi timing-nya benar-benar tidak tepat.

"Carissa, kamu mau gak ulang tahunnya dirayain? Kemaren waktu Puri ulang tahun papa masih simpen kontak EO-nya. Gimana?" Tiba-tiba air mataku menetes. Ingin rasanya aku memintanya untuk kembali.

"Kita bikin pesta besar. Soalnya ini kan ulang tahunmu yang ke-17. Kamu boleh undang temen-temenmu..." lanjut ayah yang membuat mataku semakin memanas. Sebelum bercerai, aku merayakan ulang tahunku bersama ayah dan ibu saja. Dan setelahnya, aku hanya mendapat pesan singkat atau telpon dari ayah.

"Gak usah dirayain. Mending duitnya buat yang lain aja." Aku mengontrol suaraku agar tetap terdengar seperti biasa.

"Tapi ini kan sweet seventeen kamu..." sambungnya.

"Gimana kalo kita pergi makan di luar aja buat ngerayainnya? Ayah bisa, kan?" Tanyaku.

"Eh, tapi mama sama Winka..."

"Kita berdua aja, Yah. Mama gak perlu tau kalo kita pergi makan diluar."

Aku menunggu jawaban ayah. Setelah sekian lama, baru kali ini aku mau mengajaknya keluar. Mungkin sudah saatnya aku memaafkannya.

"Iya. Tapi kita makannya malam ini aja ya, gimana?" Tawar ayah yang langsung kusetujui.

Setelah mencuci muka,aku menuju dapur dan menikmati sarapan. Aku tidak memberitahu keduanya mengenai ayah.

"Bentar lagi UN lo, Kar. Main-mainnya dikurangi. Jangan males makan. Kamu tuh kalo gak dipanggil buat makan gak bakalan makan. Gimana mau kuliah, kamu tinggal sendiri, apa mau ditelponin biar makannya teratur?" Pagi ini kakak lebih cerewet dari biasanya. Tapi aku menanggapinya dengan santai. Biar saja dia begitu, nanti dia sendiri yang akan kesepian kalo aku tinggal kuliah.

"Kalo kakak gak keberatan ya boleh-boleh aja." Sahutku sambil mengunyah 3 lapis roti yang sudah ku olesi selai kacang.

"Becanda terus kamu. Mau kuliah dimana?" Tanya kakak sambil menuang jus ke gelas.

"Gak tau. Gak ada jurusan yang aku minati." Jujur saja, aku bahkan gak tau mau jadi apa aku nantinya.

"Gak mau ambil jurusan hukum? Kamu itu kan paling pinter cari alesan. Mana tau kamu bisa jadi pengacara." Aku menggeleng. Kenapa juga aku harus jadi pengacara, ngurusin urusan orang, membela orang yang belum tentu benar.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang