Confession?

2.8K 176 15
                                    

Bagiku, setiap hari adalah kesempatan untuk menikmati hidup dengan cara apapun yang kita inginkan. Menjadikannya pantas untuk diingat. Atau mungkin terkadang kita tidak benar-benar menghargai waktu yang kita miliki dengan membiarkannya berlalu begitu saja.

Ingin hidup bahagia? Wujudkan. Tidak ada pelari yang melihat ke belakang. Tidak peduli lawan mereka memimpin di depan atau menyusul di belakang, mereka fokus pada garis akhir. Karena mereka percaya bahwa kemenangan berada pada setiap langkah kaki yang mereka ambil.

"Kamu yakin masih mau nambah?" Winka menatap horor piringku. Ini ketiga kalinya aku nambah. Entahlah, rasanya aku tidak ingin berhenti menjejali mulutku dengan makanan.

"Ini gak ada yang mau lagi kan? Mama, kak Winka, udah kenyang kan?" Mama mengangguk. Nasi goreng buatan kak Winka memang enak. Tidak salah dia menjadi kakakku. Eh?

"Kamu makan banyak, matamu juga jadi segede onta. Abis diputusin ya?" Tanya kak Winka. Aku menatapnya jengkel.

"Shapa juha yang mahu mutusin akhu? Lugi tawhu!" Kalimatku jadi terdengar aneh karena mulutku yang masih penuh dengan makanan. Kak Winka mencubit pipiku cukup keras.

Aku merebut gelasnya karena tenggorokanku tercekat. Aku menenggak air seperti orang bar-bar. Setidaknya cukup untuk menghilangkan nafsu makan kak Winka.

"Bisa gak sih minumnya gak berisik? Duh, pantes aja kamu diputusin." Aku tidak menggubris ucapan kak Winka.

"Tumben banget temen-temenmu ngadain kejutan kayak gitu. Kamu gak maksa mereka, kan?" Kak Winka kembali ke topik yang ingin kuhindari selama seharian ini.

"Namanya juga orang baik. Pasti selalu dibalas yang baik juga." Ucapku asal.

Sesampainya di rumah pagi tadi, aku langsung disambut dengan kue dari kak Winka dan ibu. Saat itu juga mood-ku membaik.

Bunga dan kue pemberian Dion sudah diungsikan ke rumahku, tanpa sepengetahuanku. Aku yakin itu ide otak kotornya Bima. Dan mood-ku jadi jelek lagi. Hingga aku menemukan kebahagiaan lagi dalam nasi goreng buatan kak Winka.

Ibu hanya bertanya aku tidur dimana semalam sedangkan kak Winka, sesuai dugaanku, dia banyak bertanya. Bahkan hingga siang ini.

"Huh, dasar tukang boong. Padahal dari cowok kamu, kan? Yang inisialnya D?"

Deg! Kali ini aku tidak tahu harus jawab apa. Darimana kak Winka tahu?

"Kan aku udah bilang itu dari Bima sama Tania. Aku gak kenal orang yang inisial D." Jawabku ketus.

"Trus surat yang ada di bunga? Disitu kan inisialnya D." Aku menatap kak Winka geram.

"Mana suratnya?" Tanyaku cepat. Dia mengangkat bahu. Dia benar-benar tahu cara membuatku marah.

Aku pergi menuju kamar. Buket bunga itu tergeletak di atas tempat tidur. Tapi tidak ada surat. Aku tidak menemukan apa-apa. Tapi mustahil kak Winka tahu mengenai Dion tanpa surat itu.

Aku mendengar suara kak Winka berbicara pada ibu.

"Duh, liat ma, si Carissa udah punya cowok. Ini ada surat diselipin di bunga yang cowoknya kasih..." Ia mengeraskan suaranya seolah-olah agar aku mendengarnya juga.

Sial! Ingin rasanya aku memuntahkan kembali makanan buatannya.

"Duh, pake bahasa inggris segala. Cowoknya Carissa kayaknya pinter, ma. Dia bilang gini : Kalo ada orang yang paling susah move on, mungkin itu aku. Ya, hatiku masih stuck buat seseorang yang istimewa sejak 12 tahun yang lalu. Itu kamu, Carissa... duh" kak Winka meringis ketika aku menarik rambut panjangnya itu.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang