Sinar Berkabut Kelabu

70 9 2
                                    

Gerrr, kalo gak ada yang komen gak dilanjut nih cerita. Vote ya ya ya? Wkwk ngarep banget nih author.

Cuzzz, lanjut ke dunia Anna!

*******

Anna Pov~

Kubuka mata perlahan, kesadaran belum sepenuhnya terkumpul. Namun suara bariton itu membuatku sadar sepenuhnya, aku terduduk dan mulai memutar otakku. Apa yang sedang terjadi?

"An? Kau sudah baikan?"

"Aku dimana Lex?"

"Kamu dirumah sakit, kau pingsan dipesta tadi. Sekarang berbaringlah, kata dokter kau kelelahan." Ucapnya sambil membantuku berbaring. Namun kucegah tangannya,

"Dimana Yuna?" Yah, pertanyaan itu yang pertama kali aku fikirkan.

"Dia ada di kamar sebelah An, lebih baik kau istirahat dulu"

"Tidak lex, aku harus menemuinya sekarang" kucoba melepas tangannya pelan namun dia tetap mencegahku.

"Kumohon lex, biarkan aku menemuinya"

"Baiklah, aku akan mengantarmu" dia membantuku berdiri dan merangkulku ke kamar Yuna. Dia membantuku duduk dikursi yang kuyakini berada disamping ranjang Yuna.

"Na, apa kau mendengarku? Apa kau baik-baik saja?"

"Yuna??"

"Dia tak akan menjawabmu An."

"Apa yang terjadi lex?" Kugoyang-goyangkan tubuh Lexi. Aku panik. Airmata sudah memenuhi wajahku. Aku butuh penjelasan.

"Aku juga tidak tau An, yang aku tau saat ini dia pingsan. Sejak kemarin malam"

"Sekarang sudah pagi? Sudah berapa lama aku pingsan Lex? Ayah dimana? Apa dia tau keadaan Yuna sekarang?" Tanyaku beruntun, sungguh semua ini membuatku bingung.

*****

Lexi pov~

Aku belum menjawab semua pertanyaan Anna, kucoba menahan isakanku yang sangat ingin menerobos. Kualihkan pandanganku pada Om Leon yang berdiri diambang pintu. Namun dia tak bergeming seakan memberikan semua tanggung jawab ini kepadaku.

Ya, Om leon adalah Ayah Yuna dan Anna.

Kutarik nafasku dalam.

"Ini sudah malam An, sebaiknya kau makan dulu. Kau butuh tenaga An."

"Tidak Lex, aku akan menunggu Yuna sadar" ucapnya pelan namun tak terbantahkan. Dia sama seperti Yuna.

"Baiklah kau akan menjaganya tapi biarkan perutmu terisi An, kumohon. Demi Yuna. Dia akan sedih bila melihatmu seperti ini."

Kudengar helaan nafasnya, "baiklah"

"Aku akan mengambilnya dikamarmu, sebentar." Aku pergi meninggalkannya, melewati Om Leon yang masih setia mematung disana. Dan berlalu entah kemana. Mengapa harus sesulit ini?

*****

Anna Pov~

Setelah mengatakan itu lexi pergi. Hanya keheningan yang ada disini, kuraih tangan Yuna dan kugenggam dengan erat.

"Yuna, cepatlah bangun. Banyak hal yang harus kau jelaskan padaku" kuulas senyumku terpaksa. Namun masih tak ada respon darinya hingga Lexi kembali membawakanku makanan itu. Sempat aku menolaknya, tapi sepertinya Lexi bulanlah orang yang dengan mudah dapat kulawan. Dan kuhabiskan makanan itu dalam hening.

"Apa kau tidak pulang?" Tanyaku halus.

"Kau berniat mengusirku eh?"

"Eh, bukan begitu tapi apa orang tuamu tidak mencarimu?"

"Ini terlalu larut An, lagipula aku sudah memberi kabar pada orang tuaku"

"Oh, kenapa kau sebaik ini pada kami? Bukankah kita baru saja mengenal?" tanyaku hati-hati.

"Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu sendiri disini, aku tak mungkin setega itu"

"Em, terima kasih Lex"

"Sama-sama"

Sedetik kemudian semua hening.
Begitu tenang hingga terasa mencekam, detik demi detik terasa begitu berat saat Yuna masih terdiam seperti ini. Aku tak mampu terlelap. Hatiku masih berkelana mencari sebuah jawaban atas segala pertanyaan.

Kurasakan tangan Yuna bergerak, akupun terkesiap.

"An" suara Yuna seperti biasanya namun saat ini tercekat?

"Iya Na, aku disini"

"Apakah aku tertidur lama?" Ucapnya sambil terkekeh. Huh syukurlah bila dia baik-baik saja.

"Tidak Na, waktuku cukup lama untuk menunggumu. Apa kau baik-baik saja?"

"Tentu An, aku baik-baik saja. Mungkin aku kecapekan."

"Baiklah sekarang tidurlah lagi, aku akan menemanimu disini Na"

"Tidak An, ada hal yang ingin aku katakan."

"Kita bisa membahasnya besok pagi Na, kau butuh istirahat."

"Ini penting An, terjaga sebentar tak akan membuatku sakit." Dia tertawa renyah.

"Baiklah, apa yang ingin kau katakan?"

"Bukankah aku sudah berjanji akan menjadi orang pertama yang menunjukkan padamu dunia yang sebenarnya? Sekarang aku akan menepatinya An."

"Tapi kau sedang sakit Na, jangan terlalu dipaksakan. Aku baik-baik saja. Semua akan tetap sama Na. Gelap meski kau membawaku pergi kemanapun."

"Tidak lagi An, aku akan membuat duniamu berwarna lagi. Meski setelah ini, aku akan pergi jauh kau harus ingat bahwa aku selalu ada disampingmu, menjagamu. Menjadi bagian dalam hidupmu. Karna kita satu An. Besok akan ada orang yang mendonorkan matanya untukmu An, kau akan melihat dunia lagi"

Tes, sebulir airmataku menetes. Aku hanya diam, masih mencerna apa yang dikatakan Yuna tadi.

"Aku memberimu kabar bahagia bukan untuk air matamu An, tapi untuk kebahagiaanmu. Berjanjilah untuk bahagia An, hapus air matamu. Demi aki, juga demi Bunda. Kami menyayangimu An. Dunia ini memanglah keras, tapi jangan pernah sekalipun merasa sendiri. Kami selalu dihatimu, selamanya"

Yuna menautkan kelingkingnya padaku, lalu memelukku.

"Aku berjanji Na, aku tak akan mengecawakanmu maupun Bunda. Terima kasih Na"

"Sama-sama An, sekarang kuantar kau kekamarmu. Jam 9.00 besok kau akan menjalani operasi dan itu membutuhkan tenaga." Dia melepas pelukannya, dan terdengar suara decitan ranjang yang kuyakini adalah dia yang berusaha beranjak.

"Tapi Na, aku bisa sendiri"

"Tidak An, ini bukan rumahmu."

Dan akupun menurut, kurasakan dia menggandengku dan mengelus rambutku sebelum akhirnya mengucap.

"Tidurlah An, besok akan menjadi hari yang panjang untukmu. Mimpi indah" dia mengecup keningku lama lalu menghilang. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak seperti dia, meski hanya terpaut usia 8menit dia jauh lebih dewasa dariku.

Lelah membuat mataku merasakan kantuk luar biasa, dan perlahan lenyap itu menembusku begitu saja.

**********

Part terpanjang nih guys!!!

Masih ada yang kepo nggak? Kalo ada dilanjut kalo enggak yaudah. Hehehe. Vote vote voteeeeeeeeeee

~8 februari 2016

tears AnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang