Meragu

349 30 3
                                    

Sore ini Jakarta tiba2 diguyur hujan. Aku berdiri di balkon kamarku, memandangi air hujan yang membasahi bumi.

Aku sangat menyukai hujan, meski sering kali ia menyakiti hatiku. Hujan kerap menyadarkanku pada rasaku yang sebenarnya.

Keceriaan dan kebahagiaan yang terlihat saat aku bersama sahabat2ku, seakan semua itu hanya kamuflase semata. Nyatanya aku hampa dan kesepian. Dan itu sangat menyakitkan!

Sejak kecil kedua orang tuaku selalu sibuk dengan bisnis mereka. Jarang dirumah dan hampir tak pernah punya waktu untukku.

Mungkin kalo disinetron2, anak sepertiku bakal jadi pemberontak dan nggak tau aturan. Tapi tidak, ini kehidupan nyata. Dan nyatanya, aku bukan pemberontak dan aku tau aturan.

Meski sering ditinggal, masa2 kecilku nggak begitu menyedihkan. Ada Kanchi yang selalu bersamaku. Usianya 5 tahun lebih tua dariku. Dia sudah cukup gede untuk bisa mengajari dan menjagaku.

Sejak itu aku selalu bergantung padanya. Meski jadi anak tunggal dari orang tuaku, aku tetap berasa punya saudara. Kanchi adalah kakak terbaik yang pernah ada.

Dan entah sejak kapan ketergantungan itu, kekaguman itu, rasa persaudaraan itu berubah jadi cinta di hatiku.

Kujulurkan tanganku berusaha merasakan air hujan, menikmati percikannya.

Dingin!

Tapi bukan ditanganku. Rasa itu berdiam dihatiku, memaksa air mataku keluar beradu dengan hujan.

Aku teringat kata2 Vara.

"Cinta itu harus realistis. Kalo Bani cintanya sama orang lain, buat apa berharap terus sama dia. Sama aja nyakitin hati sendiri. Nyerah, lebih baik ketimbang berjuang buat sesuatu yang kita tau hasilnya nggak akan buat kita bahagia."

Apa cintaku nggak realistis? Aku mencintai Kanchi. Walau nggak tau bagaimana akhirnya nanti, tapi aku tetap bertahan dengan harapanku.

Dan rasa kosong dan dingin dihatiku saat ini apa itu berarti aku udah menyakiti hatiku sendiri?

Kupejamkan mata, meresapi rasa yang ada dihatiku. Rindu. Untuk Kanchiku. Air mataku terus menetes. Seperti hujan, mengalir tak terbendung.

Kurasakan aroma tanah yg hampa Bersama jejakmu yg tertinggal, kurangkai keping hati yg terurai Menyatukan rasa yg berbeda
Dlm bingkai jalinan kasih yg berhias kerinduan.

Sebait puisi terangkai dalam pikiranku.

"Prilly..."

Teriakan Alian menarikku dari kekalutan pikiranku. Buru2 kuhapus air mataku agar tak disadari olehnya.

"Prill, turun" Alian ada di bawah dengan tubuh yang basah kuyup.

"Ngapain lo?"

"Sini buruan. Kita main ujan2an. Seru Prill."

Alian merentangkan tangannya, menengadahkan wajah dan membiarkan air hujan mengguyur seluruh tubuhnya.

Keliatannya memang seru. Akupun turun ke taman belakang tempat Alian berada. Aji mumpung tante Regi dan om Permana lagi ada urusan diluar. Coba kalo nggak, mana boleh kami main hujan2an seperti ini.

Aku dan Alian kembali menjadi bocak kecil yang seru2an main hujan. Kami menjadi gila dibawah guyuran air yang begitu deras. Kejar2an, nyanyi2, jingkrak2, tertawa lepas, pokoknya semuanya kami lakukan.

Untuk pertama kalinya hujan menunjukkan rasa yang berbeda dihatiku. Bahagia!!! Yah ini bahagia yang nyata. Bukan kamuflase ataupun kemunafikan. Ini tulus.

My Luphy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang