"Lunak disudu, keras ditakik."
Yang biasa diperintah dengan kesabaran, yang keras kepala diperintah dengan kekerasan juga.
..........................................
Putee masih tersenyum. Giar dan Ivan merinding melihat senyum anak itu. Putee duduk di depan seorang cowok yang sudah babak belur. Bahkan sudut bibir cowok tak dikenal itu berdarah. Putee tersenyum lagi-lagi, lalu menoleh ke arah teman-teman premannya.
"Gue mau ngomong sama dia, kalian pergi aja dulu!"
Melihat cowok yang suka nyengir sedang tersenyum itu membuat yang lain keder juga. Ketika Putee sedang tersenyum dengan bibir melebar aneh begitu pasti tidak akan berakhir baik. Senyum itu jauh menakutkan daripada ancaman dari preman pasar utara. Teman-teman Putee keluar dari sana setelah sebelumnya berpesan dengan dramatis.
"Jangan bunuh anak orang, Put!"
"Nggak bakalan, kok! Mungkin cuma... patah."
Cowok yang sedang duduk dan diikat itu hanya menatap Putee dengan ekspresi ngeri. Putee memang punya tampang manis, namun cowok itu jauh lebih berbahaya daripada ancaman apapun. Ketika hanya tersisa cowok itu dan Putee di sana, Putee menatapnya dengan wajah datar.
"Nama lo?"
"I.. Iwan." Cowok itu berbisik pelan. Sepertinya dia siap kalau harus dihajar. Putee menghela nafasnya, lalu menatap mata cowok itu.
"Apa yang Mir janjikan buat lo?"
Iwan mengerutkan dahinya. Bagaimana Putee tahu kalau Mir menjanjikan sesuatu? Putee semakin mendekat, memegang kedua pipi anak itu. Iwan terdiam, namun dia tahu Putee lebih baik daripada preman manapun. Bahkan lebih baik daripada Mir.
"Pengobatan ibu saya....."
Gigi Putee gemeretuk karena amarah. Putee tidak menyangka kalau Mir tega memaksa seseorang hanya karena orang itu punya kelemahan dan sedang membutuhkan.
"Kenapa lo mau?"
"Saya.. saya nggak tahu harus dapat uang dari mana lagi..." Iwan menunduk makin dalam. Putee berdiri, melepaskan ikatan Iwan, lalu menarik lengan cowok itu. "Maafkan saya, saya minta maaf. Tolong jangan bawa saya ke polisi."
Putee berdecak.
"Siapa yang mau bawa lo ke polisi? Ikut gue!" Putee menyeret lengan Iwan. Iwan mengikutinya. "Lo kelas berapa?"
"Saya sudah nggak sekolah, mas..."
Putee meminjam motor milik salah satu temannya, lalu mengajak Iwan ke suatu tempat. Iwan hanya menjawab ketika Putee bertanya dimana ibunya dirawat, dan hal-hal lainnya. Putee membawa Iwan ke rumah sakit.
"Lo dibayar berapa sama Mir, Wan?"
Iwan menunduk.
"Kak Mir belum membayar saya."
Putee bungkam, lalu menepuk bahu cowok itu.
"Mulai sekarang dan seterusnya, jangan pernah berbuat jahat demi ibu lo. Ingat uang yang didapat dengan hal yang nggak baik nantinya akan balik mencelakakan lo." Putee melangkah lebih dulu. Iwan mengikutinya dengan air mata yang menggenang di matanya. Putee melangkah ke ruang administrasi dan bertanya tentang nama ibu Iwan beserta tagihan rumah sakit beliau.
"Lo tunggu di sini, gue mau balik dulu!"
Putee melangkah, sedikit berlari dan pergi ke ATM. Beberapa saat kemudian, tagihan ibu Iwan dinyatakan lunas. Saldo uang Putee di ATM jadi seratus ribu. Putee tersenyum miris, namun dia ikhlas membantu ibu Iwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garlic
FanfictionPernah tahu cerita "Bawang Putih dan Bawang Merah"? Bagaimana seandainya si Garlic yang selalu ditindas itu malah jadi cowok nakal dan pemberontak? . Bawang putih dan bawang merah versi humu. Yaoi. Kita sebut saja fanfiction. Ff yang beda. Ini buka...