Part 7

16 0 0
                                    

Sesampai di rumah aku mengurung diri di kamar, dan mengatakan pada orangtuaku bahwa aku sedang tidak enak badan jadi tidak pergi ke kampus dan sepertinya orangtuaku tidak mencurigai apapun dengan sikapku.

"Mau kemana Pa?" tanyaku pada Papa, ini hari minggu, seharusnya Papa libur.

"Papa mau ke rumah tantemu si Mira, hari ini mereka sekeluarga akan ke Surabaya dan supirnya sedang izin karena istrinya sakit, jadi Papa yang mengantarkan mereka ke bandara" jawab Papa.

"Ke Surabaya Pa?" tanyaku, dan Papa hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas di kepalaku suatu ide untukku menenangkan diri.

"Boleh aku ikut?"

"Ikut kemana? Ke rumah tante Mira?"

"Bukan Pa, maksudnya Yui ikut ke Surabaya"

"Bukannya kamu kuliah?"

"Ayolah Pa, aku sudah lama tidak liburan dan aku begitu stress dengan tugas-tugas kampus. Boleh ya kali ini aku liburan sebentar, soal kuliah aku bisa minta ijin Pa" rengekku.

"Biarin aja Pa" Mama muncul entah dari mana.

"Beneran Yui boleh ikut Ma?" tanyaku senang pada Mama dan mama hanya mengangguk.

"Tapi kamu jangan nakal dan harus nurut sama tantemu" ucap Papa kemudian.

"Terima kasih Papa sayang" aku langsung memeluk Papa. Hangat dan nyaman, tapi tidak senyaman pelukan David. Ada apa denganku, kenapa disaat seperti ini aku masih memikirkan David?

Akhirnya aku berangkat ke Surabaya bersama keluarga tante Mira. Tante Mira merupakan adik Ayahku, dia menikah dengan om Surya yang berasal dari Surabaya. Jadi tepatnya sekarang kami akan berangkat ke rumah mertua tante Mira. Tante mira dan om Surya mempunyai anak bernama Nayla dan Farid. Nayla sebaya denganku sedang Farid masih SMA. Kedatangan tante Mira dan keluarganya ke Surabaya karena Nenek Rasia (mertua tante Mira) sedang sakit keras dan akan segera di operasi.

"Ada apa denganmu? Biasanya kau selalu ceria, apalagi sekarang kita di Surabaya" tanya Nayla membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari ternyata mobil yang menjemput kami di bandara sudah tiba di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah.

"Tidak apa, mungkin hanya kelelahan" jawabku. Entahlah, tubuhku memang sudah berada di Surabaya tapi pikiranku masih bersama Al dan David.

Sebenarnya ini bukanlah sebuah liburan karena setiba di rumah kami langsung ke rumah sakit menemui nenek Rasia karena sebentar lagi dia akan menjalani operasi. Di rumah sakit sudah ada beberapa keluarga om Surya yang lain yang tak lain adalah Adik dan Kakaknya beserta keluarganya. Awalnya aku merasa sedikit canggung, tapi ternyata keluarga om Surya begitu baik jadi aku mulai merasa nyaman.

Operasi nenek Rasia berjalan lancar tapi dia masih harus tetap dirawat di rumah sakit, jadinya aku dan Nayla harus bolak-balik rumah dan rumah sakit. Setelah yakin Nenek Rasia akan baik-baik saja akhirnya aku, Nayla dan Farid benar-benar menikmati liburanku di Surabaya. Kami menjelajahi seluruh tempat yang bagus dan cukup terkenal di Surabaya, setidaknya ini merupakan hiburan tersendiri untukku karena aku bisa sedikit melupakan dan mengiklaskan Al. Tapi hanya Al, pikiran akan David mencium dan menyatakan cinta padaku sama sekali tidak bisa hilang dalam ingatanku.

Aku benar-benar membenci hal ini, mengapa aku begitu mudah melupakan perasaanku pada Al sedang David tidak? Padahal aku tidak mempunyai perasaan apapun pada David? Apakah hanya karena aku merasa nyaman dalam pelukannya dan dia juga yang telah merebut ciuman pertamaku makanya aku tidak bisa melupakannya? Tapi Al melakukan jauh lebih dari itu, selama ini dia yang memberikanku kenyamanan tapi mengapa aku bisa menyingkirkan perasaanku pada Al begitu saja? Oh Tuhan apa yang terjadi padaku?

Setelah seminggu di Surabaya akhirnya aku, Nayla dan Farid pulang. Kami tidak mungkin tinggal lama-lama disana sementara aku dan Nayla harus kuliah dan Farid juga harus sekolah. Nayla dan aku sebenarnya kuliah di kampus yang sama hanya saja kami berbeda jurusan dan itu membuat kami nyaris tidak pernah bertemu di kampus yang sangat besar dan luas itu.

Selama di Surabaya aku sengaja mematikan ponselku, aku tidak ingin siapapun menggangguku. Soal Papa dan Mama mereka bisa menghubungiku di ponsel Nayla, Farid atau siapa saja yang berada di Surabaya jika mereka mau bicara padaku. Dan sekarang aku mengaktifkan ponselku kembali setelah sampai di rumah, dan saat ponselku aktif puluhan pesan masuk secara bertubi-tubi. Aku tidak mungkin membaca semuanya, hanya melihat siapa-siapa saja yang mengirimkan pesan itu kemudian menghapusnya. Aku melihat kebanyakan dari Al dan David, tapi ada juga beberapa dari temanku yang lain. Aku hanya membuka beberapa pesan yang pasti itu bukan dari Al dan David, aku tidak ingin berurusan dengan kedua pria brengsek itu.

From: Yani 081xxx
Kau dimana? Kenapa tidak masuk kampus?

From: Ana 081xxx
Kau baik-baik saja? Maaf aku tidak berada disisimu tadi.

From: Arni 081xxx
Aku dengar kau bertengkar dengan Al? Apa kau baik-baik saja?

From: Yani 081xxx
Soal kemarin kau tidak usah khawatir, kami akan anggap tidak melihat dan mendengar apapun. Jadi segeralah kembali ke kampus.

Aku memutuskan untuk menghapus semua pesan itu tanpa membacanya. Mengapa Yani tiba-tiba perhatian seperti itu padaku? tidak, aku tidak bisa percaya pada siapapun lagi. Aku yakin Yani tiba-tiba baik dan perhatian karena disuruh Al. Aku meyakinkan diriku untuk tidak dekat dengan Yani. Karena Yani dekat dengan Al bisa jadi Yani disuruh Al untuk menghiburku karena merasa bersalah padaku.

Aku memutuskan untuk kembali ke kampus dan menjalani hari seperti biasanya, bukankah hidup itu harus tetap berjalan bukan? Aku tiba di kampus saat kelas akan di mulai dan saat istirahat aku memilih untuk pergi mencari Nayla di fakultasnya dan kembali ke kelas saat istirahat selesai kemudian langsung pulang saat kelas selesai. Aku sama sekali tidak berniat untuk mengobrol apalagi bicara pada siapapun yang berada di kelasku. Aku juga merasa atmosfir di kelas tiba-tiba berubah, tidak ada lagi canda tawa yang biasa dilakukan teman-temanku saat mereka bosan.

Sekilas aku melihat tatapan Al dan David terus tertuju padaku, aku bisa menangkap penyesalan dari mata mereka. Saat istirahat tiba seseorang mencekal pergelangan tanganku saat aku ingin keluar kelas, dia Yani.

"Ada apa denganmu huh?" tanya Yani. Aku hanya diam, aku sama sekali tidak berniat untuk berbicara pada siapapun di kelas itu.

"Yui, apa kami bersalah padamu? kenapa kau mendiamkan kami seakan kami bersalah padamu?" tanya Yani dan teman-teman yang lain juga ikut mengangguk. Aku membenarkan bahwa mereka tidak salah padaku, aku hanya tidak berniat untuk dekat dengan siapapun lagi.

"Al ini salahmu! Tapi kenapa Yui mempersalahkan kami juga?" ucap Ana menyalahkan Al. Kali ini Ana ikut bicara karena aku juga tidak berbicara padanya semenjak kejadian itu. Dika yang berada disamping Ana hanya diam saja tapi aku bisa membaca wajahnya yang begitu marah pada Al. Aku melihat Al hanya tertunduk menyesal dan walaupun pelan aku masih bisa mendengar kata 'Maaf' keluar dari mulutnya.

"Yui kau jangan seperti ini pada kami" timpal Arni. Aku melihat mata Arni sudah berkaca-kaca. Arni memang sosok orang yang sangat mudah menangis.

"Maafkan aku, kalian tidak salah. Aku hanya ingin sendiri tanpa diganggu siapapun" akhirnya aku berhasil mengucapkan kata yang cukup panjang untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku langsung melangkah pergi meninggalkan kelas itu, tujuanku sekarang kembali menemui Nayla.

"Ada apa denganmu? Kenapa belakangan ini tiba-tiba rajin banget ngapelin aku?" tanya Nayla curiga.

"Tidak apa, aku merasa kantin disini lebih nyaman daripada kantin yang berada di dekat fakultasku" jawabku berkelit. Nayla hanya menggeleng-gelengkan kepala, Nayla tahu selera makanku selama di Surabaya meningkat drastis soal makanan. Dan benar makanan disini memang lebih enak. Tapi sebenarnya itu hanya alasanku saja.

Can I believe with you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang