Beberapa jam lalu Ifo menelpon Gain dan memberitahu jika Dodit dipukuli oleh Ivan. Oleh karena itu, di sinilah dia sekarang. Di rumah Dodit, memandangi Dodit yang duduk di hadapannya bersama sang ibu yang tengah mengobati luka cowok itu.Gain ikut meringis nyeri melihat Dodit yang sesekali berteriak kesakitan karena lukanya diobati. Wajahnya lebam sana sini. Sudut bibirnya juga robek.
Untung tadi Ifo melihat kejadian itu dan segera minta tolong pada orang-orang yang lewat untuk menjauhkan Ivan dari Dodit. Kalau saja tidak ada Ifo, mungkin sekarang ini Dodit sudah ada di rumah sakit.
Gain tidak habis pikir dengan kelakuan Ivan yang seenaknya sendiri. Ini sudah kesekian kalinya Gain mendengar Ivan memukuli orang dengan alasan yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin "menyukai Gain" bisa dijadikan alasan untuk memukuli orang sampai babak belur seperti ini?
"Maaf ya, Dit," ucap Gain dengan nada penuh penyesalan setelah ibunya Dodit meninggalkan mereka di ruang tamu. Dia benar-benar merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Dodit.
"Ini bukan salah Gainna kok. Ini salah saya sendiri."
"Biar bagaimanapun lo kayak gini gara-gara gue. Ivan ngelakuin itu karena gue, jadi gue harus tetep minta maaf." Gain melirik Dodit. Cowok itu diam saja. Entah itu karena menahan sakit atau karena tidak tahu harus bilang apa. "Gue tahu kalo lo suka sama gue, Dit, tapi maaf gue nggak bisa balas perasaan itu," lanjut Gain.
"Pasti karena saya bukan tipe cowok keren seperti Arga." Arga yang sedang minum jadi tersedak mendengar penuturan Dodit. Dia lalu memandang Dodit dengan tatapan aneh.
"Kayaknya iya," kata Arga asal yang langsung disambut dengan cubitan panas dari Gain. Dia sampai melompat menjauh saking kagetnya dengan cubitan tiba-tiba itu.
"Bukan. Bukan karena itu kok. Lo bisa aja jadi keren kayak Arga kalo lo mau, tapi bukan itu alasannya."
"Lalu?" Dodit bertanya heran.
"Cara lo yang salah. Cara mencintai lo itu keliru. Ya, okelah kalo lo ngasih perhatian itu boleh-boleh aja, tapi mengikuti setiap saat itu menakutkan. Dengan mencintai seseorang bukan berarti elo harus ngikutin dia kemanapun dia pergi. Cara lo yang seperti itu tidak menunjukkan kalo lo suka sama dia, tapi malah lo itu kayak penguntit dan itu menakutkan."
"Apa itu yang Gainna rasakan selama ini?"
"Y-ya," jawab Gain sungkan.
"Baiklah saya mengerti." Dodit tersenyum tulus. Sepertinya dia sudah benar-benar mengerti maksud Gain.
"Thanks ya, Dit, udah mau ngerti. Maaf juga karena mungkin yang gue bilang barusan nyakitin hati lo."
"Enggak kok. Dodit malah berterimakasih banget sama Gainna karena sudah memberitahu apa yang salah pada diri saya, jadi saya bisa instropeksi diri supaya bisa lebih baik kedepannya," jelasnya sambil tersenyum. Melihat Dodit tersenyum, Gain pun ikut tersenyum. Dia lega bisa membicarakan hal ini dengan baik. Kini dia tinggal menyelesaikan masalahnya dengan Ivan. Ini sedikit rumit karena Gain belum ingin bertemu dengan Ivan. Dia sangat muak jika harus melihat wajah cowok itu, tapi dia tidak bisa menghindar terus-terusan. Dia juga tidak bisa selalu bergantung pada Arga ataupun Iman. Apalagi mengingat semua yang sudah dilakukan Ivan pada orang-orang di dekatnya. Dia tidak mau lagi mendengar ada yang terluka gara-gara Ivan.
"Oh ya, satu hal sebelum gue pulang. Lo rubah deh, cara ngomong sama penampilan lo itu. Kuno banget tau," celetuk Arga. Gain kembali memberikan cubitan panas di pinggang Arga yang membuatnya berteriak kesakitan.
Gain menggeleng heran. Bagaimana bisa dia bersahabat dengan orang macam Arga. Ya ampun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ssstt Pacar Pura Pura
Teen FictionConan seorang most wanted di SMA Nasional setuju dengan usulan salah seorang sahabatnya untuk mencari pacar pura-pura hanya karena ingin menghindar dari kejaran fans dan segala macam pertanyaan membosankan dari para sahabatnya mendadak terbiasa deng...