"Harry—"
Ginny mengangkat pelan punggungnya naik menjauhi ranjang. Master bed di rumah ini sangatlah luas. Bahkan jika untuk lima orang tidur pun masih terasa luas. Dalam pikiran Ginny, sungguh egois sekali melihatnya tidur nyenyak di atas ranjang sementara Harry.. berbaring di atas sofa.
"Harry pasti memindahkanku semalam," ujar Ginny pelan, matanya belum lepas dari wajah teduh Harry.
Pelan-pelan, Ginny mulai tersadar jika memang banyak perubahan yang telah terjadi di sekelilingnya. Sebut saja pada Harry. Setelah ia tahu jika tubuhnya tak lagi dirasa sebagai gadis remaja, Harry, pria yang kini masih tertidur di atas sofa, tampak memiliki perubahan cukup mencolok.
Harry lebih terlihat dewasa meski wajah lembutnya belum kunjung memudar. Garis-garis kedewasaan itu muncul seiring beberapa helai rambut hitamnya yang mulai kelabu. Sedikit kusam dan bagian dagunya yang kini terlihat lebih kekar mulai nyaman dengan tumbuhnya bulu-bulu halus yang kini jarang dicukur habis. Ginny ingat, dulu Harry pernah bergurau jika ia tak suka memiliki kumis. Ia lebih suka memiliki jenggot tipis dan berniat akan merawatnya ketika mereka menikah nanti. "Boleh, ya?! Tidak sepanjang Profesor Dumbledore, kok. Kau tenang saja, sayang." Ginny masih mengingatnya. Dan ternyata benar, Harry menepati janjinya sendiri.
Ginny memperhatikan jam dinding yang kini menunjukkan pukul lima pagi. Ia ragu, apakah Harry biasa bangun pagi atau sedikit siang. "Oh, ya, dia, kan, bekerja di Kementerian. Auror. Tapi dulu seingatmu masih pelatihan. Harry bekerja." Batinnya.
Salah satu lemari pakaian tertarik untuk Ginny dekati. Sebelumnya ia memang sudah pernah membuka lemari pakaian itu namun tidak memperhatikan banyak. "Yang aku buka kemarin yang ini. Banyak baju wanita, mungkin bajuku. Kalau lemari yang ini—"
Ginny membuka pintu ganda lemari pakaian besar di hadapanya. Mata Ginny terbelalak lebar. "Ini pakaian-pakaian Harry," ujarnya menyentuh beberapa kemeja yang terpasang lengkap di masing-masing gantungannya. Semua tertata rapi. Di atur sesuai jenis pakaiannya. Pada bagian sudut, berjajar berbagai jenis jas, dipisahkan dengan sekat kayu hitam, pakaian Harry masuk pada jenis-jenis kemeja resmi. Berhenti pada bagian sisi yang terdapat susunan laci-laci kecil berisi dasi-dasi koleksi Harry, Ginny menemukan beberapa seragam yang sangat ia kenal.
"Seragam Auror." Ujarnya pelan. Ginny mengambilnya satu. Pada kayu gantungannya seragam itu terpasang tidak begitu rapi sehingga Ginny berniat untuk merapikannya.
Tepat pada bagian krah coklat seragam itu, tangan Ginny menyentuh salah satu lencana yang terpasang pada bagian dada. Ginny tertegun tak pecaya. "Harry—" ia lantas melihat sejenak ke arah Harry yang masih tertidur di atas sofa. "Kepala divisi Auror?"
Ginny tersenyum senang. "Akhirnya Harry berhasil memperoleh jabatan tertinggi itu. Kau memang pria yang hebat, Harry," batinnya bangga. Ia kembali memasukkan seragam itu dalam lemari. Ginny menutup kembali pintu lemari itu setelah ia melihat betapa rapinya susunan baju-baju santai Harry yang terlipat pada sisi bawah. Ginny tidak sadar, pada kenyataannya jika itu semua adalah hasil kerjanya mengorganisir segala keperluan busana Harry sehari-hari.
"Kasihan Harry," Ginny kembali mendekat ke sisi Harry tidur. Ia berniat membangunkannya, takut jika Harry memang harus bekerja pagi ini.
"OK, lebih baik aku bangunkan dia pelan-pelan, maafkan aku." Ginny menyentuh pipi sisi kiri Harry pelan. Mengusapnya naik turun merasakan suhu hangat di tubuh pria yang sangat ia cintai itu.
"Bangun, Harry," bisik Ginny pelan. Dadanya berdebar.
Harry, yang memang terbiasa sigap dan cepat bertindak ketika ia merasakan sesuatu, langsung menyentuh tangan Ginny cepat dan terbangun. "Hah!" Matanya menyipit berusaha melihat lebih jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guinevere (a Hinny Fanfiction)
FanfictionGuinevere by Annelies Shofia Ginny mengingat dirinya, seperti yang diceritakan Harry dulu, namanya Ginny, Ginevra, seperti nama istri raja Arthur, Guinevere. Tapi akibat kecelakaan saat Quidditch itu terjadi, sebagian memorinya hilang. Ginny menging...