Ketegasan Rasa

203 7 0
                                    

***

Takdir masih memberikannya waktu untuk membuka mata. Mengolah hidupnya agar semua yang ia jalani menjadi baik. Hitam putih yang sempat ia telusuri dalam hampanya ruang kosong itu kini semua berganti menjadi penuh warna-warna yang telah bertepi. Bahagianya kini kembali. Saat nafas itu dengan mudah dapat ia hirup dan mata itu dapat melihat senyum yang selalu ia rindukan. Sederhana bukan bahagianya

***

"Via. Alhamdulillah sayang kamu udah sadar nak. Ya Allah mama gak nyangka sayang" Arleta mencium puncak kepala Via yang baru saja membuka matanya. Via hanya tersenyum kecil di dekapan mamanya. Tangannya merengkuh erat leher mamanya saat wanita itu memeluknya dan mencium wajahnya.

"Ma.."

Via menghapus air mata Arleta yang mengalir di wajah wanita itu. Senyum manis masih tersungging di wajahnya. Tangannya yang masih tertancap infus mengusap pipi mamanya. Dengan perlahan gadis itu melepas masker oksigen yang menyumbat hidung dan bibirnya. Dengan tawa kecil ia mencubit hidung mamanya.

"Via. Kamu ini.."

"Mama.. ngapain.. sih.. ppp.. pake.. nang.. is sega.. la.. Hhhh. Aww"

Arleta melebarkan matanya saat anaknya meringis. Wajah wanita yang tadinya sempat kesal pada anaknya kini menampakkan raut khawatir.

"Via.. via kamu gak papa sayang kamu sih mana yang sakit bilang sama mama sayang" Via kembali tertawa. Kini justru tawanya menggelegar membuat lagi-lagi Arleta melotot kesal terhadapnya.

"Haha mama biasa aja kali ma. Uhukk ma minum dong" Arleta menggelengkan kepalanya sambil mengalihkan pandangannya ia melipat tangannya membelakangi Via. Via merengut di perlakukan demikian oleh mamanya.

"Maaa" Arleta membalikkan tubuhnya. Menatap anaknya sejenak kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Tangannya mengusap lembut dahi putrinya.

"Kamu baru sadar sayang. Dokter aja belum periksa keadaan kamu. Jadi nanti ya setelah dokter tau keadaan kamu. Sebentar mama panggil dokter dulu"

Sivia menghela nafas. Ia pun mengamggukkan kepalanya.

***

Tiga hari kemudian..

Gabriel membantu Ify memasuki kamarnya. Meletakkan tas baju gadis itu di sisi kamar. Ify hanya menatap setiap gerak-gerik Gabriel di kursi rias sambil menyisir rambutnya. Ify terpaku melihat rambutnya yang rontok di sisirnya. Gadis itu menutup matanya sejenak untuk menetralisir perasaannya yang mulai merayapi hatinya. Rasa yang selalu ia sembunyikan dari orang-orang yang mencintainya. Menutupi rasa itu dengan wajah gembira tanpa beban dengan mata yang berbinar namun pada nyatanya hatinya meringis.

"Fy, Baju-baju lo di taruh dimana. Mau langsung di masukin lemari atau di taruh disini aja"

Ify membuka matanya. Buru-buru ia menyembunyikan sisir penuh rontokan rambutnya di laci meja kemudian membalikkan tubuhnya ke Gabriel dengan wajah yang kembali ia cerahkan.

"Taroh sana aja. Enak aja lo mau masukin ke lemari. Mau cari kesempatan liat aset gue hehh"

Gabriel tertawa mendengar sahutan dari Ify. Sambil tersenyum nakal ia mendekati Ify dan berdiri di sampingnya. Ify mendongakkan kepalanya. Matanya ia sipitkan melihat senyum tak wajar dari sahabatnya.

"Kenapa enggak? Gue kan sahabat lo jadi yang namanya sahabat harus selalu berbagi. Jadi gak papa dong gue liat. Namanya sahabat apapun milik bersama. Milik lo.."

Bughhh

Gabriel menghentikan ucapannya saat sebuah bantal tiba-tiba mendarat di wajahnya. Entah Gabriel pun tidak menyadari saat Ify mengambil bantal dan melempar kearahnya. Kini ia sudah mengambil ancang-ancang untuk..

Love And ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang